Selamat Datang

Senin, 28 Oktober 2013

Teori Sastra

KRITIK TERHADAP TEORI EKSPRESIVIS
Kritik Ekpresivis Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra. Penelitian ini dianggap kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda subjektivitas pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi teringat seratus persen tentang penciptaan. Dari persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik memanipulasi  alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan pencipta pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley   ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.
   



    Pada akhir abad ke-15 sinar romantika dan ekspresionisme melai pudar Ilmu sastra mulai meniadakan unsur penulis sebagai faktor dalam memahami, mengapresiasi dan menilai karya sastra. Sastra berpedoman pada biografi pengarangnya menghadapi persoalan-persoalan mendasar yang cukup menyulitkan kebahasaannya sebagai teori sastra yang bisa dibertanggung jawabkan sacara ilmiah. Persoalan otnomi tidak lagi berkaitan dengan penulis tetapi mulai mendasar dan programatik dikemukakan oleh Wimsatt dan Beardsley dalam buku The Internasional Fallac(1987). Konsep itu mengacu pada pengertian bahwa adalah kekeliruan apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks sastra orang berpedoman pada maksud ( intensi) dan latar belakang pengarang. Pandangan Wimsatt dan beardsley secara singkat diungkapkan berikut ini.
Niat seorang pengarang dalam menulis karyanya tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses tidaknya sebuah darya sastra. Niat beerkaitan dengan tujuan dan maksud pengarang, sikapnya dalam proses penciptaan, dan dorongannya menulis karya sastra. Aliran romantik mengharuskan kita merumuskan mekna niat pengarang sehingga mereka terpaku pada hal-hal inspirasi, otensitas, biografi, sejarah sastra dan kecendekiaan. Aliran romantik menegaskan bahwa niat itu memiliki pengaruh yang jelas terhadap karya sastra yang dihasilkannya, karena makna niat itulah yang mendorongnya menuliskan karyanya.
Wimsatt dan beardsley mengemukakan dalil-dalil berikut ini untuk membuktikan bahwa makna niat pengarang tidak berpengaruh terhadap keberadaan karya sastra.

1.    Sekalipun sebuah karya sastra terwujud berkat adanya niat penulisnya namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuah teks.
2.    Harus dipertanyakan apa yang dicari dalam niat pengarang itu. Jika pengarang mampu menuangkan makna niatnya dalam karyanya, maka justru makna muatan itu sajalah yang harus dinilai tanpa perlu meneliti apakah pengarang memang berniat demikian.
3.    Jika ukuran keberhasilan karya sastra adalah kesejajaran antara makna niatan pengarang dengan makna muatannya maka syarat-syarat subjektivitas pengarang sesungguhnya sudah dilepaskan.
4.    Apabila makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi, maka kita boleh menggunakan data-data yang dapat menjelaskan pemakaian bahasanya. Akan tetapi jika penggunaan bahasanya sudah cukup jelas tidak perlulah berkonsultasi kepada pengarangnya.
5.    Maka niat merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga mencari-cari makna niat pengarang sungguh-sungguh suatu jalan pikiran yang sesat.

Menurut Wimsatt dan beardley sebuah karya sastra sesungguhnya menjadi milik umum, ia telah terbentuk dalam pemakaian bahasa yang menjadi milik umum dan menjadi milik pengetahuan umum. Oleh karena itu pengetahuan sastra terpisah dari pngarang sejak ditulis dan pengarang tidak dapat menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya.

Keberatan terhadap teori ekspresivisme dikemukakan oleh banyak teoritisi sastra, antara lain Foucault (1992), Ricoeur (1987), Barthes (1981), Wellek & Warren (1993).
Wellek & Warren secara tegas menyebutkan bahwa biografi seorang pengarang sama sekali bukan masalah sastra sehingga tidak relevan dipergunakan sebagai bahan penelitian sastra secara ilmiah. Seorang pengarang tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap ide, perasaan, kebaikan ataupun kajahatan tokoh-tokoh ciptaanya.  Ini berlaku bukan saja untuk tokoh drama dan novel tetapi juga untuk “ aku” dalam puisi lirik. Sekalipun ada karya sastra yang erat berkaitan dengan kehidupan pengarangnya, karya sastra tetap bukanlah bukti kehidupan pengarang. Karya sastra barangkali mewujudkan impian dan bahkan “topeng” yang menyembunyikan pribadi pengarang yang sebenarnya. Singkatan karya sastra bukanlah dokumen biografis.
Meskipun pendekatan biografis tidak membantu kita memahami karya sastra secara lebih baik, Wellek & Warren mengakui bahwa ada manfaatnya mempelajari biografi pengarang karena ada sosok pribadi dibalik karya-karya sastra. Manfaat biografi berguna antar lain :
1)    Menjelaskan alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra;
2)    Mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang;
3)    Menjelaskan tradisi sastra yang berlaku didaerah pengarang.



Menurut Paul Ricoeur (1987:332-333) sebuah teks hanya akanmenjadi teks yang sesungguhnya bila pengarangnya telah meninggal. Dengan demikian relasi pembaca dan teks akan menjadi utuh dan lengkap tanpa ada kewajiban bertanya mengenai intensi pengaangnya.
Roland barthes (1981: 73-81) menegaskan bahwa teks sastra itu tidak bertuan; pembacalah tuan atas bacaannya. Pengarang bukan subjek dan buka predikat atas bacaannya, karena dunia yang menawarkan karya sastra adalah dunia yang multidimensional, dunia dimana seluruh varietas (tekstur) bergabung.
Foucault ( 1987: 124) mengatakan subjek pelaku seperti pengarang, ide, penguasa, panglima, gereja, dan negara tidak penting. Dibalik sebuah karya (sastra) orang tidak menemuka subjek (pengarang) melainkan ‘suasana’ suatu periode atau tipe masyarakat tertentu yang memiliki masalah-masalah tertentu pula. Yang penting bukanlah pengarang melainkan “ mekanisme-mekanisme kekuasaan dan strategi kekuasaan”. Kekuasaan, menurut Foucault bukan milik perseorangan atau lembaga tetentu melainkan merupakan strategi serba banyak relasi kuasa yang bekerja pada suatu tempat dan suat periode tertentu. Penyebutan nama pengarang dalam suatu studi sastra hanya bermaksud menempatkan kondisi-kondisi dan situsi-situasi yang berbentuk teori dan konsep dalam kaitan dan karyanya.  Jadi fungsi penyebutan nama bermakna signifikatif ataupun indikatif melainkan fungsional, yakni memiliki fungsi menempatkan konteks dan spesifikasi sebuah wacana.



Dalam buku The International fallacy Wimsat dan Bearsdley yang mengemukakan tentang teori ekspresivisme yaitu:
•    Terwujudnya suaatu karya sastra karena dengaan adanya niaat penulis namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuaah teks.
•    Pengarang harus mampu menuangkan makna niat dalam karyanya dan makna muatan seharusnya dinilai tanpa perlu meniliti.
•    Kesejajaran antara makna pengarang dan makna muatan serta syarat-syarat antara makna pengarang subjektif.
•    Makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi atau biografis untuk menjelaskan pemakaian bahanya tetapi jika penggunnaan bahasanya jelas maka tidak perlu lagikonsultasi terhadap pengarang.
•    Suatu hal yang bersifat abstrak akan mencari makna pengarang dengan sungguh-sungguh dalam suatu pikiran yang sesat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar