PENGERTIAN JURNALISTIK
Seiring kemajuan teknologi informasi maka yang bermula dari laporan harian maka tercetak manjadi surat kabar harian. Dari media cetak berkembang ke media elektronik, dari kemajuan elektronik terciptalah media informasi berupa radio. Tidak cukup dengan radio yang hanya berupa suara muncul pula terobosan baru berupa media audio visual yaitu TV (televisi). Media informasi tidak puas hanya dengan televisi, lahirlah berupa internet, sebagai jaringan yang bebas dan tidak terbatas. Dan sekarang dengan perkembangan teknologi telah melahirkan banyak media (multimedia). Jurnalistik bisa dibatasi secara singkat sebagai kegiatan penyiapan, penulisan, penyuntingan, dan penyampaian berita kepada khalayak melalui saluran media tertentu. Jurnalistik mencakup kegiatan dari peliputan sampai kepada penyebarannya kepada masyarakat. Sebelumnya, jurnalistik dalam pengertian sempit disebut juga dengan publikasi secara cetak. Pengertian tersebut tidak hanya sebatas melalui media cetak seperti surat kabar, majalah, dan sebagainya, akan tetapi meluas menjadi media elektronik seperti radio atau televisi.
Berdasarkan media yang digunakan meliputi jurnalistik cetak (print journalism), elektronik (electronic journalism). Akhir-akhir ini juga telah berkembang jurnalistik secara tersambung (online journalism). Dahulu kegiatan jurnalistik dilakukan dengan cara-cara manual, mulai dari pencarian berita hingga kepada kegiatan pelaporan berita atau pengumpulan berita dilakukan dengan cara yang masih sangat sederhana. Hal ini dikarenakan dahulu alat-alat pendukung kegiatan jurnalistik masih minim sekali. Selain itu juga jurnalistik pada zaman dahulu hanya dipahami sebagai publikasi secara cetak. Tetapi sekarang tidak hanya dari situ saja, media elektronik juga ikut andil dalam hal pemberitaan serta sebagai pelaku media massa.
Dapat dilihat bahwa sekarang ini dunia teknologi semakin berkembang. Perkembangan teknologi tersebut juga memengaruhi perkembangan jurnalistik. Pada zaman dahulu hanya seorang jurnalis profesional yang mampu melakukan kegiatan jurnalistik. Dimana kegiatan jurnalistik yang dimaksud adalah mencari, mengumpulkan, mengolah, dan melaporkan berita kepada masyarakat luas. Akan tetapi saat ini, kegiatan jurnalistik tidak hanya dapat dilakukan oleh jurnalis profesional. Dengan ditemukan teknologi internet, kegiatan jurnalistik dapat dilakukan oleh siapa saja, tanpa harus memiliki backgroun sebagai jurnalis profesional. Setiap orang bisa melakukan kegiatan mencari, mengumpulkan, mengolah, dan melaporkan berita kepada masyarakat luas. Istilah yang digunakan untuk perkembangan jurnalistik tersebut yakni citizen journalism. Dalam citizen journalism, semua anggota masyarakat mampu melakukan kegiatan jurnalistik tanpa memandang latar belakang pendidikan dan keahlian. Kehadiran citizen journalism mendorong setiap orang untuk berani menulis dan melaporkan informasi/berita kepada banyak orang tanpa memerlukan label atau status jurnalis profesional.
Dari segi etimologi kita melihat istilah jurnalistik terdiri dari dua suku kata jurnal dan istik. Kata jurnal berasal dari bahasa prancis, journal, yang berarti catatan harian. Hampir sama ucapannya dengan kata itu kita temukan dalam bahasa latin, diurnal yang mengandung arti hari ini. Sehubungan dengan kegiatan jurnalistik, pada zaman romawi kunoyang diperintah oleh Julius Caesar dikenal dengan istilah acta diurnal yang mengandung makna dengan rangkaian akta (gerakan, kegiatan, dan kejadian) hari ini. Adapun kata istik merujuk pada istih estetika yang berarti ilmu pengetahuan tentang keindahan. Keindahan yang dimaksud adalah mewujudkan berbagai produk seni dan/ keterampilan menggunakan bahan-bahan yang diperlukannya seperti kayu, batu, kertas, cat, atau suara dalam hal ini semua macam bangunan, kesusastraan dan musik (Pringgodigdo, 1973:383). Karena keindahan tersebut mengandung makna yang luas serta mencakup sifat-sifatnya yang objektiffan subjektif. Maka hasil seni yang dimaksud mengandung nilai-nilai yang bisa diminati dan dinikmati manusia pengagumnya, di samping nilainya sendiri yang meman apa adanya dari karya seni itu. Dengan demikian secara etimilogis jurnalistik dapat diartikan sebagai suatu karya seni dalam hal membuat catatan tentang peristiwa sehari-hari,karya mana yang memilki keindahan yang dapat menarik perhatian khlayaknya sehingga dapat dinikmati dan dimanfaatkan untuk keperluan hidupnya.
Dari segi perkembangannnya para pakar sejarah mencatat bahwa kegiatan jrnnalistik tampak dimulai pada zaman jayanya kerajaan romawi kuno saat di bawah kekuasaan Raja Julius Caesar. Pada masa itu kegiatan jurnalistik dilakukan oleh para pakar budak belian yang disuruh majikannya mengutip informmasi tentang segala peristiwa hari itu, yang berkaitan dengan status atau kegiatan usaha majikannya dan dimuat diberitakan dalam acta diurnal yang dipasang di Forum Romanum (Stadion Romawi). Semula tugas itu hanya untuk kepentingan majikan semata.
Sangat boleh jadi istilah jurnalis pun berasal dari bunyi istilah diurnarius atau diurnarii, yang pada hakikatnya mengandung arti orang yang mencari dan mengelolah (mengutip dan memperbanyak) informasi untuk kemudian dijual kepada mereka yang membutuhkannya. Dengan demikian istilah jurnalistik mengandung pengertian keterampilan atau karya seni para jurnalis, dalam arti mencari informasi, memilih da mengumpulkan bahan berita dan mengelolah menyusun naskah berita untuk memenuhi kebutuhan khalyaknya.
Dari segi pengertian tadi, yaitu menurut kacamata etimologi, komunikasi dan sejarah perkembangannya, kita dapat menarik kesimpulan bahwa di dalam istilah jurnalistik terkandung makna sebagai seni dan atatu keterampilan mencari, mengumpulkan, mengelola, dan menyajikan informasi dalam bentuk berita secara indah agar dapat diminati dan dinikmati sehingga bermanfaat bagi segala kebutuhan pergaulan hidup khalayak
DEFINISI JURNALISTIK
Definisi yang tepat dapat dijadikan titik tolak atau pedoman berpikir dalam memahami aspek yang terakait dengan apa yang disebut jurnalistik itu. Dalam hal ini Adinegoro (1963: 32-33) menuntut delapan syarat untuk membuat definisi ilmiah yang tepat, yaitu:
1. Di dalam definisi itu tidak boleh mengulang kata atau nama yang harus diterangkan
2. Pernyataan definisinya tidak boleh negative, melainkan harus positif ( bukan pernyataan yang menyangkal)
3. Di dalam definisinya tidak boleh ada pernyataan yang bertentangan
4. Definisi harus menerangkan keseluruhan aspek yang terkait, tidak hanya bagiannya saja yang diceritakan
5. Jangan menggunakan ibarat
6. Sifat-sifat yang tidak menentukan jangan dimasukkan ke dalam definisi itu
7. Sifat-sifat yang menentukan harus dirumuskan sependek( sesingkat) ungkin
8. Definisi itu harus bias dibalikkan dengan tidak berubah artinya
Adapun wujud dari definisi itu sendiri memiliki cirri-ciri: (a) berbentuk pernyataan berupa kalimat, yaitu yang diterangkan dan menerangkan; (b) di antara anak kalimat tersebut digunakan kata kopula (adalah atau ialah); (c) uraiannya bersifat teoritis dan abstrak
Apabila kita rujuk apa yang dimaksud definisi dan wujudnya tadi, pengertian jurnalistik yang telah dipaparkan di muka dapat dijadikan suatu definisi jurnalistik dan bentuk pernyataannya sebagai berikut:
Jurnalistik adalah seni dan keterampilan mencari, mengumpulkan, mengelola, menyusun, dan menyajikan berita tentang perisitiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya, sehingga terjadi perubahan sikap, sifat, pendapat, dan perilaku khalayak sesuai dengan kehendak para jurnalisnya.
Namun demikian untuk menguji kebenaran dan ketepatan definisi tersebut, maka kita simak pula definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ahli
Andinegoro sendiri melalui bukunya, publisistik dan djurnalistik (1963: 38) membedakan jurnalistik dari publisistik dengan penegasan bahwa jurnalistik adalah kepandaian yang praktis, sedangkan publisistik adalah kepandaian yang ilmiah.
Astrid Susanto dalam bukunya: ,”Komunikasi massa,” terbitan tahun 1986, menyebutkan: dalam Jurnalistik adalah kegiatan pencatatan dan atau pelaporan serta penyebaran tentang kegiatan sehari-hari.
Onong Uchjana Effendy dalam bukunya: “Ilmu, Teori dan Filsafat Komunikasi,” terbitan tahun 1993 menyebutkan, Jurnalistik adalah teknik mengelola berita mulai dari mendapatkan bahan sampai menyebarluaskannya kepada masyarakat.
Djen Amar bukunya: “Hukum komunikasi Jurnalistik,” terbitan tahun 1984 mengatakan: Jurnalistik adalah kegiatan mengumpulkan, mengolah dan menyebarkan berita kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya.
Erik Hodgins, redaktur majalah Time seperti yang dikutip Kustadi Suhandang dalam bukunya: Pengantar Jurnalistik, Seputar Organisasi, Produk dan Kode Etik, terbitan tahun 2004, mengatakan : Jurnalistik adalah pengiriman informasi dari sini ke sana dengan benar, seksama dan cepat dalam rangka membela kebenaran dan keadilan berfikir yang selalu dapat dibuktikan.
Kustadi Suhandang dalam buku yang sama mengatakan, Jurnalistik adalah seni dan atau keterampilan mencari, mengumpulkan, mengolah, menyusun, dan menyajikan berita tentang pristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khalayaknya.
Drs. A.S. Haris Sumadiria, M.Si, dalam bukunya, jurnalistik Indonesia, Menulis berita dan feature, panduan Praktis Jurnalis professional, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, 2005, merumuskan definisi jurnalistik sebagai: Kegiatan menyiapkan, mencari, mengumpulkan, mengolah, menyajikan, dan menyebarkan berita melalui media berkala kepada khalayak seluas-luasnya dengan secepat-cepatnya
Sebagai rangkuman dari semua pendapat atau definisi itu kiranya dapat kita pertahankan pengertian yang telah dikemukakan tadi menjadi suatu definisi yang lengkap dan sempurna:
Jurnalistik adalah seni dan/ keterampilan mencari, dan mengumpulkan, mengelolah, menyusun, menyajikan berita tentang peristiwa yang terjadi sehari-hari secara indah, dalam rangka memenuhi segala kebutuhan hati nurani khlayaknya
SEJARAH PERKEMBANGAN JURNALISTIK
Perkembangan jurnalistik dimulai dari perkembangan publisistik sebagai pengetahuan kemasyarakatan dalam bidang pernyataan antarmanusia.
Para ahli sejarah menamakan nabi Nuh sebagai seorang pencari dan penyiar kabar (wartawan) yang pertama di dunia. Bahkan sejalan dengan teknik-teknik dan caranya mencari dan menyiar kabar (warta berita di zaman sekarang dengan lembaga kantor berita lainnya) itu, menunjukkan bahwa sesungguhnya kantor berita yang pertama di dunia itu adalah kapal Nuh. Dan selanjutnya diperoleh para ahli sejarah Negara romawi pada permulaan berdirinya kerajaan romawi. Pada masa itu pejabat tinggi romawi mencatat segala kejadian penting yang diketahuinya pada annales ( papan tulis yang digantungkan di serambih rumanya). Catatan pada papan tulis itu merupakan pemberitahuan bagi setiap orang yang lewat dan memerlukannya.
Pengumuman sejenis itu dilanjutkan oleh Julius Caesar pada zaman kejayaannya. Caesar mengumumkan hasil persidangan senat, berita tentang kejadian sehari-hari, peraturan-peraturan penting, serta apa yang perlu disampaikan dan diketahui rakyatnya dengan jalan menuliskannya pada papan pengumuman berpa papan tulis yang pada masa itu (60 SM) dikenal dengan acta diurnal dan diletakkan di Forum Romanum (stadion romawi) untuk `diketahui bacanya, bahkan juga boelh mengutipnya untuk kemudian disebarluaskan dan dikabarkan di tempat lain.
Baik hikayat nabi Nuh menurut keterangan Flavius Josephus maupun munculnya acta diurnal belum merupakan suatu penyiaran atau penerbitan sebagai harian, akan tetapi jelas terlihat merupakan gejala awal perkembangan jurnalistik. Dari kejadian tersebut dapat kita ketahui adanya suatu kegiatan yang mempunyai prinsip-prinsip komunikasi massa pada umumnya dan kejuruan jurnalistik pada khususnya. Karena itu tidak heran kalau nabi Nuh dikenal sebagai wartawan pertama di dunia. Demikian pula acta diurnal sebagai cikal bakal lahirnya surat kabar harian.
Kegiatan penyebaran informasi melalui tulis-menulis makin meluas pada masa peradaban Mesir, ketika masyarakatnya menemukan tehnik pembuatan kertas dari serat tumbuhan yang bernama “Phapyrus”.
Pada abad 8 M., tepatnya tahun 911 M, di Cina muncul surat kabar cetak pertama dengan nama “King Pau” atau Tching-pao, artinya “Kabar dari Istana”. Tahun 1351 M, Kaisar Quang Soo mengedarkan surat kabar itu secara teratur seminggu sekali.
Penyebaran informasi tertulis maju sangat pesat sejak mesin cetak ditemukan oleh Johan Guttenberg pada 1450. Koran cetakan yang berbentuk seperti sekarang ini muncul pertama kalinya pada 1457 di Nurenberg, Jerman. Salah satu peristiwa besar yang pertama kali diberitakan secara luas di suratkabar adalah pengumuman hasil ekspedisi Christoper Columbus ke Benua Amerika pada 1493.
Pelopor surat kabar sebagai media berita pertama yang bernama “Gazetta” lahir di Venesia, Italia, tahun 1536 M. Saat itu Republik Venesia sedang perang melawan Sultan Sulaiman. Pada awalnya surat kabar ini ditulis tangan dan para pedagang penukar uang di Rialto menulisnya dan menjualnya dengan murah, tapi kemudian surat kabar ini dicetak.
Surat kabar cetak yang pertama kali terbit teratur setiap hari adalah Oxford Gazzete di Inggris tahun 1665 M. Surat kabar ini kemudian berganti nama menjadi London Gazzette dan ketika Henry Muddiman menjadi editornya untuk pertama sekali dia telah menggunakan istilah “Newspaper”.
Di Amerika Serikat ilmu persuratkabaran mulai berkembang sejak tahun 1690 M dengan istilah “Journalism”. Saat itu terbit surat kabar dalam bentuk yang modern, Publick Occurences Both Foreign and Domestick, di Boston yang dimotori oleh Benjamin Harris.
Pada Abad ke-17, di Inggris kaum bangsawan umumnya memiliki penulis-penulis yang membuat berita untuk kepentingan sang bangsawan. Para penulis itu membutuhkan suplai berita. Organisasi pemasok berita (sindikat wartawan atau penulis) bermunculan bersama maraknya jumlah koran yang diterbitkan. Pada saat yang sama koran-koran eksperimental, yang bukan berasal dari kaum bangsawan, mulai pula diterbitkan pada Abad ke-17 itu, terutama di Prancis.
Pada abad ke-17 pula, John Milton memimpin perjuangan kebebasan menyatakan pendapat di Inggris yang terkenal dengan Areopagitica, A Defence of Unlicenced Printing. Sejak saat itu jurnalistik bukan saja menyiarkan berita (to inform), tetapi juga mempengaruhi pemerintah dan masyarakat (to influence).
Di Universitas Bazel, Swiss jurnalistik untuk pertama kali dikaji secara akademis oleh Karl Bucher (1847 – 1930) dan Max Weber (1864 – 1920) dengan nama Zeitungskunde tahun 1884 M. Sedangkan di Amerika mulai dibuka School of Journalism di Columbia University pada tahun 1912 M/1913 M dengan penggagasnya bernama Joseph Pulitzer (1847 – 1911).
Pada Abad ke-18, jurnalisme lebih merupakan bisnis dan alat politik ketimbang sebuah profesi. Komentar-komentar tentang politik, misalnya, sudah bermunculan pada masa ini. Demikian pula ketrampilan desain/perwajahan mulai berkembang dengan kian majunya teknik percetakan.
Pada abad ini juga perkembangan jurnalisme mulai diwarnai perjuangan panjang kebebasan pers antara wartawan dan penguasa. Pers Amerika dan Eropa berhasil menyingkirkan batu-batu sandungan sensorsip pada akhir Abad ke-18 dan memasuki era jurnalisme modern seperti yang kita kenal sekarang.
Perceraian antara jurnalisme dan politik terjadi pada sekitar 1825-an, sehingga wajah jurnalisme sendiri menjadi lebih jelas: independen dan berwibawa. Sejumlah jurnalis yang muncul pada abad itu bahkan lebih berpengaruh ketimbang tokoh-tokoh politik atau pemerintahan. Jadilah jurnalisme sebagai bentuk profesi yang mandiri dan cabang bisnis baru.
Pada pertengahan 1800-an mulai berkembang organisasi kantor berita yang berfungsi mengumpulkan berbagai berita dan tulisan untuk didistribusikan ke berbagai penerbit surat kabar dan majalah. Kantor berita pelopor yang masih beroperasi hingga kini antara lain Associated Press (AS), Reuters (Inggris), dan Agence-France Presse (Prancis).
Tahun 1800-an juga ditandai dengan munculnya istilah Yellow Journalism (jurnalisme kuning), sebuah istilah untuk “pertempuran headline” antara dua koran besar di Kota New York. Satu dimiliki oleh Joseph Pulitzer dan satu lagi dimiliki oleh William Randolph Hearst.
Ciri khas “jurnalisme kuning” adalah pemberitaannya yang bombastis, sensasional, dan pemuatan judul utama yang menarik perhatian publik. Tujuannya hanya satu: meningkatkan penjualan! Namun, jurnalisme kuning tidak bertahan lama, seiring dengan munculnya kesadaran jurnalisme sebagai profesi.
Sebagai catatan, surat kabar generasi pertama di AS awalnya memang partisan, serta dengan mudah menyerang politisi dan presiden, tanpa pemberitaan yang objektif dan berimbang. Namun, para wartawannya kemudian memiliki kesadaran bahwa berita yang mereka tulis untuk publik haruslah memiliki pertanggungjawaban sosial.
Kesadaran akan jurnalisme yang profesional mendorong para wartawan untuk membentuk organisasi profesi mereka sendiri. Organisasi profesi wartawan pertama kali didirikan di Inggris pada 1883, yang diikuti oleh wartawan di negara-negara lain pada masa berikutnya. Kursus-kursus jurnalisme pun mulai banyak diselenggarakan di berbagai universitas, yang kemudian melahirkan konsep-konsep seperti pemberitaan yang tidak bias dan dapat dipertanggungjawabkan, sebagai standar kualitas bagi jurnalisme profesional.
SEJARAH DAN PERKEMBANGAN JURNALISTIK DI INDONESIA
Perkembangan sejarah Jurnalistik di Indonesia telah dimulai sejak zaman pemerintahan belanda.pada zaman pemerintahan belanda,dibentuk persatuan jurnalistik yang dikenal dengan nama Pers Kolonial,organisasi ini di bentuk oleh para colonial dan terus berkembang hingga abad ke 20.pada masa itu terbitlah surat-surat kabar yang ditulis guna membela kaum kolonialis.salah satu surat kabar yang beredar saat itu yakni Bataviasche nouvellesd.disamping itu orang-orang keturunan thionghoa juga menggunakan surat kabar sebagai alat pemersatu keturunan thionghoa yang berada di Indonesia.surat-surat kabar yang terbit pada era kolonial ini menggunakan bahasa Belanda,Cina dan Jawa.
Di zaman pergerakan surat-surat kabar juga diterbitkan sebagai alat perjuangan seperti.perkembangan di dunia jurnalistik saat itu menjadi pendorong bangsa Indonesia dalam memperbaiki nasib dan kedudukan bangsa.harian yang terbit pada zaman itu antara lain harian Sedio Tomo yang adalah kelanjutan dari Budi Oetomo di yogjakarta tahun 1920,harian Darmo Kondo di solo,harian utusan india yang terbit di Surabaya dan masih banyak lagi.
Beralih ke masa penjajahan Jepang,pers Indonesia mengalami kemajuan dalam hal teknis namun pada masa ini,surat izin penerbitan mulai diberlakukan.surat-surat kabar yang diterbitkan dalam bahasa Belanda banyak yang dimusnahkan.penerbitan surat-surat kabar pun mulai ketat dibawa pengawasan Jepang.surat-surat kabar yang terbit pada masa ini antara lain Asia raya(Jakarta),Sinar Baru(Semarang),Suara Asia(Surabaya),Tjahaya(Bandung).
Walaupun pengawasan jepang yang begitu ketat dan mengekang namun ada pelajaran-pelajaran berharga untuk dunia jurnalistik Indonesia.pengalaman karyawan-karyawan pers di Indonesia bertambah,Rakyat semakin kritis dalam menanggapi informasi-informasi yang beredar,meluasnya penggunaan bahasa Indonesia.
Namun di era Revolusi(1945-1949) situasipun berubah, perang perjuangan untuk mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia dilakukan untuk menentang Belanda masuk lagi ke Indonesia.hal ini berpengaruh pada perkembangan Jurnalistik Indonesia.pers dibagi kedalam 2 kelompok yakni pers Nica(Belanda) dan pers Republik (Indonesia)
Pada masa orde lama,kebebasan pers mengalami penekanan karena berkaitan vdengan keputusan yang tercantum pada UUD 1945 yang menjamin kebebasan berpikir,menyatakan pendapat dan memperoleh penghasilan.hal ini diawalai dengan adanya penegasan dari muda malady yang menyartakan bahwa “langkah-langkah tegas akan dilakukan terhadap surat-surat kabar,mmajalah-majalah dan kantor-kantor berita yang tidak menaati peraturan yang diperlukan dalam usaha menerbitakan pers nasional”.
Pada era demokrasi pancasila Pemerintah Orde Baru sangat menekankan pentingnya pemahaman tentang pers pancasila. Dalam rumusan Sidang Pleno XXV Dewan Pers (Desember 1984), pers pancasila adalah pers Indonesia dalam arti pers yang orientasi, sikap dan tingkab lakunya didasarkan nilai-nilai pancasila dan UUD’45 Hakikat pers pancasila adalah pers yang sehat, yakni pers yang bebas dan bertanggung jawab dalam menjalankan fungsinya sebagai penyebar informasi yang benar dan objektif, penyalur aspirasi rakyat dan kontrol sosial yang konstruktif.
Pers dimata negara memiliki peranan sebagai pendorong kesatuan nasional dan pembangunan sambil menrapkan system perijinan. Pemerintah juga tidak menjamin dengn tegas kebebasan pers di Indoensia, hal ini terbukti dengan kontrol ketat pemerintah dengan mendirikan dewan pers dan PWI
Dalam pemerintahan Orde Baru ada tiga macam cara yang digunakan wartawan untuk menghindari peringatan dan atau pembredeilan dari pemrintah, yakni eufimisme, jurnalisme rekaman dan jurnalisme amplop.
Teknik eufeumisme adalah teknik mengungkapkan fakta secara tersirat bukan tersurat. Fakta dalam sebuah berita berbahaya oleh karena itu ditup oleh pers dengan menggunakan ungkapan yang sopan.
Jurnalisme amplop adalah budaya pemberian amplop bagi wartawan oleh sumber berita. Meskipun pemberian ini dikecam dan berusah dihindari namun pada prakteknya tetap saja terjadi.
HUBUNGAN JURNALISTIK DAN PERS
Pers sebagai suatu lembaga kemasyarakatan. Adapun istilah per situ sendiri berasal dari istilah asing, namun diterima sebagai istilag bahasa indonesia. Aslinya ditulis press, yang berarti ‘percetakan’ atau ‘mesin cetak’. Mesin cetak ilmiah rupanya yang memungkinkan terbitnya surat kabar, sehingga orang mengatakan per situ untuk maksud persuratkabaran. Dari gambaran tersebut kita pahami adanya dua pengertian umum dari pers. Pertama, secara sempit pers dimaksudkan sebagai persuratkabaran. Kedua, secara luas pers mengandung arti suatu lembaga kemasyarakatan yang melakukan kegiatan jurnalistik. Sedangkan yang dimaksud kegiatan jurnalistik masa kini adalah semua saha di mana dan melalui mana berita-berita serta komentar-komentar tentang suatu peristiwa sampai kepada publik. Semua peristiwa di dunia, baik itu merupakan pendapat maupun kejadian, akan selalu menarik perhatian. Semua kejadian yang timbul di alam semesta ini akan selalu menimbulkan selera hati manusia untuk mengetahuinya lebih jauh. Karena itu Lely Stephens mengatakan bahwa jurnalistik itu terdiri dari penulisan tentang hal-hal yang penting dan belum anda ketahui (Bond, 1961: 1)
Demikian pula para ahli filsafat menyatakan, karya pers sebagai suatu kegiatan pemberitahuan tentang apa-apa yang diharapakan umum kepada umum. Menurut mereka, karya pers adalah melayani umum dalam memberikan kemerdekaan kepada rakyat. Dalam hal ini kedudukan pers lebih tinggi dan penting, karena yang dimaksudkan dengan istilah kemerdekaan dalam pernyataan trsebut tidak berarti hanya kemerdekaan fisik saja, melainkan juga mencakup kemerdekaan psikis (jiwa). Hal demikian jelas terlihat dalam fungsi pers Indonesia Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1966 setetlah diubah dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1967 dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1982) yang menetapkan bahwa pers Nasional mempunyai fungsi kemasyarakatan, pendorong dan pemupuk daya pikiran kritis dan konstruktif-progresif, yang meliputi segala perwujudan kehidupan masyarakat Indonesia ( Effendy, 1983: 693).
Dari pernyataan-pernyataan dapatlah kita simpulkan bahwa secara luas pers merupakan suatu lembaga kemasyarakatan yang kegiatannya melayani dan menagatur kebutuhan hati nurani manusia selaku mahluk social dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, berbicara soal pers mau tidak mau kita harus pula mempelajari ilmu tentang jurnalistik. Dengan kata lain, pers sangat erat hubungannya dengan jurnalistik. Pers sebagai media komunikasi massa tidak akan berguna apabila semua sajiannya jauh dari prinsip-prinsip jurnalistik. Bahkan bukan pers namanya jika materi yang disampaikan di luar prinsip-prinsip jurnalistik. Sebaliknya karya jurnalistik tidak akan bermanfaat tanpa disampaikan oleh pers sebagai medianya, bahkan boleh dikatakan bahwa pers adalah media khusus untuk digunakan dalam mewujudkan dan menyampaikan karya jurnalistik kepada khalayak.
Dari kenyataan itu jelas tampak adanya hubungan yang tak dapat dipisahkan. Secara sempit pers merupakan suatu wadah atau baki enyajian karya jurnalistik yang berupa informasi, hiburan atau keterangan dan penerangan. Sedangkan jurnalistiknya sendiri merupakan kejuruan atau keahlian dalam mewujudkan infrmasi, hiburan, keterangan atau penerangan itu dalam bentuk berita rujuk, tajuk, kritik, ulasan, ataupun artikelartikel lainnya.
KODE ETIK JURNALISTIK
Pembukaan
Bahwasanya kemerdekaan pers adalah pengwujudan kemerdekaan menyatakan pendapat sebagai manatercantum dalam pasal 28 UUD 1945,dank arena itu wajib di hormati oleh semua pihak.kemerdekaan pers merupakan salah satu cirri Negara hokum yang di kehendaki oleh penjelasan-penjelasan undang-undang dasar 1945.sudah barang tentu kemerdekaan per situ harus dilaksanakan dengan tanggung jawab social serta jiwa pancasila demi kesejahteraan dan keselamatan bangsa dan Negara.Karena itulah PWI menetapkan kode etik jurnalistik untuk melestarikan atas kemerdekaan pers yang bertanggung jawab.
Pasal 1
Kepribadian wartawan Indonesia
Wartawan indonesia adalah warga negara yang memiliki kepribadian:
1.Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
2.Berjiwa pancasila;
3.Taat pada Undang-Undang Dasar 1945.
4.Bersifat kesatria
5.Menjunjung tinggi hak-hak asasi manusia
6.Berjuang untuk emansipasi bangsa dalam segala lapangan;sehingga dengan demikian turut bekerja ke arah keselamatan masyarakat Indonesia sebagai anggota masyarkat bangsa-bangsa di dunia.
Pasal 2
PertanggungJawaban
1.Wartawan Indonesia dengan penuh rasa tanggung jawab dan bijaksana mempertimbangkan perlu/patut atau tidaknya suatu berita,tulisan,gamba, karikatur,dan sebagainya di siarkan.
2.Wartawan Indonesia tidak menyiarkan:
a.hal-hal yang sifatnya destruktif dan dapat merugikan Negara dan Bangsa;
b.hal-hal yang menimbulkan kekacauan;
c.hal-hal yang dapat menyinggung perasaan susila,agama,kepercayaan atau keyakinan seseorang atau suatu golongan yang dilindungi oleh Undang-Undang.
3.Wartawan Indonesia melakkukan pekerjaannya berdasarkan kebahasaan yang bertanaggung jawab demi keselamatan umum.ia tidak menyalahgunakan jabatan dan kecakapannya untuk kepentingan sendiri dan/atau kepentingan golongan.
4.Wartawan Indonesia dalam menjalankanntugas jurnalistik yang menyangkut bangsa dan Negara lain,mendahulukan kepentingan nasional Indonesia.
Pasal 3
Cara Pemberitahuan dan Menyatakan Pendapat
1.Wartawan Indonesia menempuh jalan dan cara yang jujur untuk memperoleh bahan-bahan berita dan tulisan dengan selalu menyatakan identitasnya sebagai wartawan apabila sedang melakukan tugas peliputan.
2.Wartawan Indonesia meneliti kebenaran suatu berita atau keteranngan sebelum menyiarkan,dengan juga memperhatikan kredebilitas sumber berita yang bersangkutan.
3di dalam menyusun suatu berita,wartawan Indonesia membedakan antara kejadian (fakta) dan pendapat (opini),sehingga tidak mencampur baurkan fakta dan opini tersebut.
4.Kepala-kepala berita harus mencerminkan isi berita.
5.Dalam tulisan yang memuat tentang sesuatu kejadian (byline story)warttawan Indonesia selalu berusah untuk bersikap obyektif,jujur,dan sportif berdasarkan kebebasan yang bertanggungjawab dan menghindarkan diri dari cara-cara penulisan yang bersifat pelanggaran kehidupan pribadi (privacy),sensasional,imoral,atau melanggar kesusilaan.
6.Penyiaran setiap berita atau tulisan yang berisi tuduhan yang tidak berdasar,desus-desus,hasutan yang dapat membahayakan keselamatan Bangsa dan Negara,fitnahan,pemutar balikan sesuatu kejadian,merupakan pelanggaran berat terhadap profesi jurnalistik.
7.Pemberitahuan tentang jalannya pemeriksaan perkara pidana di dalam sidang-sidang pengadilan harus dijiwai oleh prinsip praduga tak bersalah,yaitu bahwa seorang tersangka baru di anggap bersalah telah melakukan sesuatu tindak pidana apabila ia telah di nyatakan terbukti bersalah dalam keputusan pengadilan yang telah dimiliki kekuatan tetap.
8.Penyiaran nama secara lengkap,identitas,dan gambar dari seseorang tersangka dilakukan dengan penuh kebijaksanaan,dan dihindarkan dalam perkara-perkara yang menyangkut kesusilaan atau yang menyangkut anak-anak yang belum dewasa.pemberitahuan harus selalu berimbang antara tuduhan dan pembelaan dan dihindarkan terjadinya trial by the press.
Pasal 4
Hak Jawab
1.Setiap pemberitahuan yang kemudian ternyata tidak benar atau berisi hal-hal yang menyesatkan,harus di cabut kembali atau diralat atas keinsafan wartawan sendiri.
2.Pihak yang merasa di rugikan wajib di beri kesempatan secepatnya untuk menjawab atau memperbaiki pemberitaan yang di maksud,sedapat mungkin dalam ruangan yang sama dalam pemberitaan semula dan sama panjangnya,asal saja jawaban atau perbaikan itu di lakukan secara wajar.
Pasal 5
Sumber Berita
1.Wartawan Indonesia menghargai dan melindungi kedudukan sumber berita yang tidak bersedia di debut namanya.dalam hal berita tanpa menyebut nama sumber tersebut di siarkan,maka segala tanggung jawab berada pada wartawan dan/atau penerbit pers yang bersangkutan.
2.Keterangan-keterangan yang di berikan secara off the record tidak disiarkan,kecuali apabila wartawan,yang bersangkutan secara nyata-nyata dapt membuktikan bahwa ia sebelumnya memiliki keterangan-keterangan yang kemudian ternyata di berikan off the record itu.jika seorang wartawan tidak ingin terikat pada keterangan yang akan di berikan dalam suatu pertemuan secara off the record,maka ia dapat tidak menghadirinya.
3.Wartawan Indonesia dengan jujur menyebut sumbernya mengutip berita,gambar,atau tulisan dari suatu penerbit pers,baik yang terbit di dalam maupun di luar negeri.perbuatan plagiat,yaitu mengutip berita,gambar, atau tulisan tanpa menyebutkan sumbernya,merupakan pelanggran berat.
4.Penerimaan imbalan atau sesuatu janji untuk menyiarkan atau tidak menyiarkan suatu,berita atau gambar,atau tulisan yang dapat menguntungkan atau merugikan seseorang,sesutau golongan atau sesuatu pihak di larang sama sekali.
Pasal 6
Kekuatan Kode Etik
1.Kode etik ini dibuat atas prinsip pertanggungjawaban tentang pertaatannya berada terutama pada hati nurani setiap wartawan Indonesia.
2.Tiada suatu pasal pun dalam kode etik ini yang member wewenang kepada golongan manapun di luar PWI untuk mengambil tindakan terhadap seorang wartawan Indonesia atau terhadap penerbit pers di Indonesia berdasarkan pasal-pasal dalam kode etik ini,karena sanksi atas pelanggaran kode etik ini merupakan hak organisatoris dan persatuan wartawan Indonesia (PWI) melalui organ-organnya.
Daftar Pustaka
Suhandang, Kustadi. 2010. Pengantar Jurnalistik: Seputar Organisasi, produk dan Kode Etik. Bandung: Penerbit Nuansa.
Ludin,bastra.2012.http://ludinbastra.blogspot.com/2012/06/masa perkembangan.html. Kendari.( diakses 26 Februari 2013)
Sinta, Angelina. 2012. http://anggelinasinta.blogspot.com/2012/11/sejarah-dan-perkembangan-jurnalistik-di.html. ( diakses 26 Februari 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar