1. Angkatan 20-an atau Angkatan Balai Pustaka
Angkatan Balai Pustaka biasa disebut dengan Angkatan 20 atau Angkatan Siti Nurbaya. Sebenarnya hal ini kurang begitu tepat, sebab kegiatan sastra Indonesia sekitar tahun 1920 tidak semata-mata terbatas pada Balai Pustaka. Di luar Balai Pustaka juga terdapat kegiatan penerbitan majalah dan buku-buku yang bersifat sastra. Penamaan Angkatan Siti Nurbaya pun sebenarnya juga kurang tepat, sebab hanya berdasar pada nama sebuah roman.
Nama Balai Pustaka mengacu kepada dua pengertian, yakni Balai Pustaka sebagai nama Badan Penerbit dan Balai Pustaka sebagai suatu angkatan dalam sastra Indonesia.
Karakteristik Angkatan 20-an atau Angkatan Balai Pustaka
Sastra Balai Pustaka lahir sekitar tahun 20-an, di mana kehidupan masyarakat kita dalam masa penjajahan. Di bawah penindasan kaum penjajah, masyarakat kita memiliki sikap, cita-cita, dan adat istiadat yang isinya memberontak. Hal tersebut karena dalam kehidupan mereka selalu diwarnai peristiwa-peristiwa sosial dan budaya yang sengaja diciptakan oleh pihak penjajah, yakni pemerintah Belanda. Hal inilah yang menjadi ciri atau karakteristik sastra pada masa itu. Umumnya karakteristik sastra suatu periode dipengaruhi oleh tiga hal, yaitu:
1) situasi dan kondisi masyarakat
2) sikap hidup dan cita-cita para pengarang
3) sikap dan persyaratan yang ditentukan oleh penguasa atau pemerintah.
Bertolak dari hal-hal tersebut di atas, maka karakteristik sastra Angkatan Balai Pustaka adalah sebagai berikut:
1) Bahasa sastra adalah bahasa Indonesia masa permulaan perkembangan, yang disebut Bahasa Melayu Umum;
2) Sastra Balai Pustaka umumnya bertema masalah kawin paksa. Masyarakat (terutama kaum ibu) beranggapan bahwa perkawinan urusan orang tua. Orang tua memiliki kekuasaan mutlak dalam menentukan jodoh anaknya.
Lahirnya Balai Pustaka sangat menguntungkan kehidupan dan perkembangan sastra di tanah air baik bidang prosa, puisi, dan drama. Peristiwa- peristiwa sosial, kehidupan adat-istiadat, kehidupan agama, ataupun peristiwa kehidupan masyarakat lainnya banyak yang direkam dalam buku-buku sastra yang terbit pada masa itu. Lahirnya angkatan 20 (Siti Nurbaya) mempengaruhi beberapa ragam karya sastra diantaranya:
1. P rosa
Roman
Pada ragam karya sastra prosa timbul genre baru ialah roman, yang sebelumnya belum pernah ada. Buku roman pertama Indonesia yang diterbitkan oleh Balai Pustaka berjudul Azab dan Sengsara karya Merari Siregar pada tahun 1920. Roman Azab dan Sengsara ini oleh para ahli dianggap sebagai roman pertama lahirnya sastra Indonesia. Isi roman Azab dan Sengsara sudah tidak lagi menceritakan hal-hal yang fantastis dan istanasentris, melainkan lukisan tentang hal-hal yang benar terjadi dalam masyarakat yang dimintakan perhatian kepada golongan orang tua tentang akibat kawin paksa dan masalah adat.
Genre roman mencapai puncak yang sesungguhnya ketika diterbitkan buku Siti Nurbaya karya Marah Rusli pada tahun 1922. Pengarang tidak hanya mempersoalkan masalah yang nyata saja, tapi mengemukakan manusia-manusia yang hidup. Pada roman Siti Nurbaya tidak hanya melukiskan percintaan saja, juga mempersoalkan poligami, membangga-banggakan kebangsawanan, adat yang sudah tidak sesuai dengan zamannya, persamaan hak antara wanita dan pria dalam menentukan jodohnya, anggapan bahwa asal ada uang segala maksud tentu tercapai. Persoalan-persoalan itulah yang ada di masyarakat.
Sesudah itu, tambah membanjirlah buku-buku atau berpuluh-puluh pengarang yang pada umumnya menghasilkan roman yang temanya mengarah- arah Siti Nurbaya. Golongan sastrawan itulah yang dikenal sebagai Generasi Balai Pustaka atau Angkatan 20. Genre prosa hasil Angkatan 20 ini mula-mula sebagian besar berupa roman. Kemudian, muncul pula cerpen dan drama.
Cerpen
Sebagian besar cerpen Angkatan 20 muncul sesudah tahun 1930, ketika motif kawin paksa dan masalah adat sudah tidak demikan hangat lagi, serta dalam pertentangan antara golongan tua dan golongan muda praktis golongan muda menang. Bahan cerita diambil dari kehidupan sehari-hari secara ringan karena bacaan hiburan. Cerita-cerita pendek itu mencerminkan kehidupan masyarakat dengan suka dukanya yang bersifat humor dan sering berupa kritik.
Kebanyakan dari cerita-cerita pendek itu mula-mula dimuat dalam majalah seperti Panji Pustaka dan Pedoman Masyarakat, kemudian banyak yang dikumpulkan menjadi kitab. Misalnya:
1) Teman Duduk karya Muhammad kasim
2) Kawan bergelut karya Suman H.S.
3) Di Dalam Lembah Kehidupan karya Hamka
4) Taman Penghibur Hati karya Saadah Aim
Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 20 pada ragam karya sastra prosa:
1) Menggambarkan pertentangan paham antara kaum muda dan kaum tua.
2) Menggambarkan persoalan adat dan kawin paksa termasuk permaduan.
3) Adanya kebangsaan yang belum maju masih bersifat kedaerahan.
4) Banyak menggunakan bahasa percakapan dan mengakibatkan bahasa tidak terpelihara kebakuannya.
5) Adanya analisis jiwa.
6) Adanya kontra pertentangan antara kebangsawanan pikiran dengan kebangsawanan daerah.
7) Kontra antarpandangan hidup baru dengan kebangsawanan daerah.
8) Cerita bermain pada zamannya.
9) Pada umumnya, roman angkatan 20 mengambil bahan cerita dari Minangkabau, sebab pengarang banyak berasal dari daerah sana.
10) Kalimat-kalimatnya panjang-panjang dan masih banyak menggunakan perbandingan-perbandingan, pepatah, dan ungkapan-ungkapan klise.
11) Corak lukisannya adalah romantis sentimentil. Angkatan 20 melukiskan segala sesuatu yang diperjungkan secara berlebih-lebihan.
Drama
Pada masa angkatan 20 mulai terdapat drama, seperti: Bebasari karya Rustam Efendi. Bebasari merupakan drama bersajak yang diterbitkan pada tahun 1920. Di samping itu, Bebasari merupakan drama satire tentang tidak enaknya dijajah Belanda. Pembalasannya karya Saadah Alim merupakan drama pembelaan terhadap adat dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan. Gadis Modern karya Adlim Afandi merupakan drama koreksi terhadap ekses- ekses pendidikan modern dan reaksi terhadap sikap kebarat-baratan, tetapi penulis tetap membela kawin atas dasar cinta. Ken arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari Pararaton. Menantikan Surat dari Raja karya Moh. Yamin merupakan drama saduran dari karangan Rabindranath Tagore. Kalau Dewi Tara Sudah Berkata karya Moh. Yamin.
2. Puisi
Sebagian besar angkatan 20 menyukai bentuk puisi lama (syair dan pantun), tetapi golongan muda sudah tidak menyukai lagi. Golongan muda lebih menginginkan puisi yang merupakan pancaran jiwanya sehingga mereka mulai menyindirkan nyanyian sukma dan jeritan jiwa melalui majalah Timbul, majalah PBI, majalah Jong Soematra.
Perintis puisi baru pada masa angkatan 20 adalah Mr. Moh. Yamin. Beliau dipandang sebagai penyair Indonesia baru yang pertama karena ia mengadakan pembaharuan puisi Indonesia. Pembaharuannya dapat dilihat dalam kumpulan puisinya Tanah Air pada tahun 1922.
Pengarang berikutnya pada masa angkatan 20 di bidang puisi adalah Rustam Effendi.Rustam Effendi dipandang sebagai tokoh peralihan.Rustam Effendi bersama Mr. Muh. Yamin mengenalkan puisi baru, yang disebut soneta sehingga beliau dianggap sebagai pembawa soneta di Indonesia. Kumpulan sajak yang ditulis oleh Rustam Effendi pada tahun 1924 adalah Percikan Permenungan.
Penyair berikutnya adalah Sanusi Pane. Beliau menciptakan 3 buah kumpulan sajak, yaitu:
(1). Pancaran Cinta (seberkas prosa lirik, 1926)
(2). Puspa Mega (1927)
(3). Madah Kelana (1931)
Sajak yang pertama kali dibuat adalah Tanah Airku (1921), dimuat dalam majalah sekolah Yong Sumatra.
Dengan demikian, ciri-ciri puisi pada periode angkatan 20, yaitu:
(1). Masih banyak berbentuk syair dan pantun.
(2). Puisi bersifat dikdaktis.
HASIL APRESIASI PUISI ANGKTAN BALAI PUSTAKA “BAHASA BANGSA” Karya MUHAMMAD YAMIN
Dari Segi Bahasa
Dari segi bahasanya,” Bahasa Bangsa” karya Muhammad Yamin menggunakan bahasa melayu tinggi. Sedangkan diksi/pemilihan kata yang digunakan dalam puisi di atas menggunakan kata yang memiliki makna konotasi seperti yang terdapat pada: /tanah moyang/, /jana bejana/. Tanah moyang disini memiliki makna tempat kelahiran atau tempal asal usul kita dalam puisi di atas sumatera, dan jana bejana mengandung makna pertautan makna. Dalam puisi di atas terdapat kata-kata yang bersifat kongkrit , yakni: /si anak/, /bunda/, /tanah moyang/, /bangsa/, /keluarga/, /besar/, /tanah melayu/, / Sumatera/, /perca/, /andalasku/, /dan/, /pemuda/. Maksud konkrit disini digunakan untuk menekankan daya bayang. Selain itu puisi “Bahasa Bangsa” menggunakan gaya bahasa majas metonimia, yakni menyebut atribut atau merk: /perca/ dan /andalasku/. Andalasku disini mewakili nama merk. Sarana retorika yang tampak pada puisi “Bahasa Bangsa” adalah antitesis seperti yang terdapat pada kata /berduka suka/, /meratap menangis bersuka raya/, dan /dalam bahagia bala dan baya/. Imajeri yang muncul adalah imajeri taktil seperti yang terdapat pada kutipan berikut:
Perasaan serikat menjadi padu Dalam bahasannya permai merdu Meratap menangis bersuka raya Dalam bahagia bala dan baya;
Dari Segi Bentuk
Puisi dibedakan menjadi dua yakni: bunyi, yang menyangkut rima, aliterasi, asonansi, dan onomatope dan verifikasi. Segi bentuk yang pertama dalah perulangan bunyi yang mencangkup rima, dan aliterasi.
Rima dalam puisi diatas adalah /aabb/aa/aabb/aabb/aaaa/aabbcc/. Alitersi yang muncul terdapat pada bait kedua:
Terlahir di bangsa berbahasa sendiri,
Diapit keluarga kanan dan kiri
Besar budiman di tanah Melayu
Berduka suka, sertakan rayu
Perulangan bunyi konsonan pada kutipan diatas antara lain; /bahasa/, dan /bangsa/ serta /besar/ dan /budiman/. Bentuk puisi kedua versivikasi yang mencakup rima dan satuan bentuk. Rima yang terdapat puisi ini adalah rima rangkai. Sedangkan satuan bentuk puisinya bebas.
Dari Segi Isi
Isi puisi mencangkup tema, nada dan suasana,perasaan dalam puisi, amanat serta nilai. Dalam puisi diatas mengandung tema cinta tanah air. Nada dan suasana puisi di atas adalah keinginan yang gigih untuk menciptakan suatu persatuan kususnya di Sumatra. Perasaan puisi diatas berisi tetntang rasa cinta terhadap pulau tempat ia dilahirkan. Amanat yang terkandung dalam puisi di atas adalah rasa bersatu diwaktu senang dan susah itu diperlukan. Sedangkan nilai yang terkandung adalah nilai kecintaan terhadap tanah air yang dalam puisi diatas diungkpan Sumatra.
NILAI-NILAI YANG TERKANDUNG DALAM PUISI ANGKATAN BALAI PUSTAKA
Pada angkatan Balai Pustaka nilai yang terkandung dalam puisi-puisi yang dihasilkan kebanyakan lebih bersifat nasionalisme, selain puisi juga di temukan syair, seperti syair Putri Hijau dan Syair Siti aminah. Sastrawan yang tidak mau menndatangani nota ringkas seperti Mohammad Yamin puisi yang dihasilkan lebi bersifat nasionalisme. Nilai nasionalisme yang diperjuangkan oleh Mohammad Yamin adalah menumbuhkan sikap cinta tanah air. Hanya sedikit orang yang sadar bahwa kemerdekaan harus ditegakkan. Ada kalannya rasa takut terhadap penjajah di kesampingkan untuk memperoleh hak-hak kita. Untuk menegakkan kemerdekaan tersebut ditanamkan kecintaan terhadap tanah air. Cara tersebutlah yang digunakan oleh para penyair liar untuk menumbuhkan sikap nasinalisme penduduk pribumi terhadap tanah air. Persatuan merupakan bagian penting untuk mencapai suatu tujuan,baik dalam keadan bahagia maupun menderita persatuan harus tetap terjaga.
Muhammad Yamin begitu menggebu untuk mengembangkan rasa cinta tanah air, maka dengan media puisi ia tuangkan rasa cintannya. Seperti dalam kutipan tersebut ini;
Perasaan serikat menjadi padu
Dalam bahasanya permai merdu
Meratap menangis bersuka raya
Dalam bahagia bala dan baya.
Dalam bait diatas nilai nasinalisme sangat melekat pada cita-cita Muhammad Yamin.
Dalam puisi Roestam Effendi yang berjudul “mengeluh” nilai nasinalisme sangat kental seperti pada kutipan berikut:
Menagis mata melihat makluk
Berharta bukan brhakpun bukan
Inilah nasib negeri nada
Memerah madu mengurus badan
Bait diatas mengungkap penderitaan karena penjajahan Belanda. Penjajah menjadikan negara Indonesia semakin menderita.
Contoh ciri-ciri dan karya penting pada angkatan ’20-an
Cirri-ciri Karya Penting pengarang
Puisinya berupa syair dan pantun.
Alirannya bercorak romantic.
Soal kebangsaan belum mengemuka
Gaya bahasa masih menggunakan perumpamaan Azab dan Sengsara Merari Siregar
Sitti Nurbaya Marah Rusli
Salah Asuhan Abdul Muis
Sengsara Membawa Nikmat
2. Angkatan 33 atau Angkatan Pujangga Baru
Nama Angkatan Pujangga Baru diambil dari pujangga sastra yang terbit pada tahun 1933, yang berjudul Poedjangga Baroe. Pada saat itu, peran majalah Poedjangga Baroe sangat besar dalam memperkenalkan para pengarang maupun karya sastra pada masyarakat Indonesia. Karya sastra yang banyak dipublikasikan adalah berbentuk sajak atau puisi, cerpen, novel, roman, ataupun drama pendek yang diterbitkan secara bertahap. Majalah Poedjangga Baroe dipimpin oleh Empat Serangkai: Sutan Takdir Alisyahbana, Amir Hamzah, Sanusi Pane, dan Armin Pane.
Karya sastra yang lahir pada angkatan ini berbeda dengan karya sastra angkatan sebelumnya, sebab para pengarang pada masa ini memunyai pandangan tertentu tentang kesenian, kebudayaan, serta tentang sastrawan. Karya sastra mereka mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi. Itulah sebabnya para angkatan sastrawan ini bersemboyan “Seni untuk masyarakat” atau “Seni haruslah berorientasi untuk kepentingan masyarakat”.
Karya-karya sastra yang lahir dalam angkatan ini mulai memancarkan jiwa yang dinamis, individualistis, dan tidak terikat dengan tradisi, serta seni harus berorientasi pada kepentingan masyarakat. Di samping itu, kebudayaan yang dianut masyarakat adalah kebudayaan dinamis. Kebudayaan tersebut merupakan gabungan antara kebudayaan barat dan kebudayaan timur sehingga sifat kebudayaan Indonesia menjadi universal. Genre prosa Angkatan 33 (Pujangga Baru) berupa:
Roman
Roman pada angkatan 33 ini banyak menggunakan bahasa individual, pengarang membiarkan pembaca mengambil simpulan sendiri, pelaku-pelaku hidup/ bergerak, pembaca seolah-olah diseret ke dalam suasana pikiran pelaku- pelakunya, mengutamakan jalan pikiran dan kehidupan pelaku-pelakunya. Dengan kata lain, hampir semua buku roman angkatan ini mengutamakan psikologi. Isi roman angkatan ini tentang segala persoalan yang menjadi cita-cita sesuai dengan semangat kebangunan bangsa Indonesia pada waktu itu, seperti politik, ekonomi, sosial, filsafat, agama, kebudayaan.Di sisi lain, corak lukisannya bersifat romantis idealistis.
Contoh roman pada angkatan ini, yaitu Belenggu karya Armyn Pane (1940) dan Layar Terkembang karya Sutan Takdir Alisyahbana. Di samping itu, ada karya roman lainnya, diantaranya Hulubalang Raja (Nur Sutan Iskandar, 1934), Katak Hendak Menjadi Lembu (Nur Sutan Iskandar, 1935), Kehilangan Mestika (Hamidah, 1935), Ni Rawit (I Gusti Nyoman, 1935), Sukreni Gadis Bali (Panji Tisna, 1935), Di Bawah Lindungan Kabah (Hamka, 1936), I Swasta Setahun di Bendahulu (I Gusti Nyoman dan Panji Tisna, 1938), Andang Teruna (Soetomo Djauhar Arifin, 1941), Pahlawan Minahasa (M.R.Dajoh, 1941).
1. Novel dan Cerpen
Kalangan sastra Kebangsaan (angkatan 33) tidak banyak menghasilkan novel/cerpen.
Beberapa pengarang tersebut, antara lain:
1) Armyn Pane dengan cerpennya Barang Tiada Berharga dan Lupa.
2) Cerpen itu dikumpulkan dalam kumpulan cerpennya yang berjudul Kisah Antara Manusia (1953).
3) Sutan Takdir Alisyahbana dengan cerpennya Panji Pustaka.
2. Essay dan Kritik
Sesuai dengan persatuan dan timbulnya kesadaran nasional, maka essay pada masa angkatan ini mengupas soal bahasa, kesusastraan, kebudayaan, pengaruh barat, soal-soal masyarakat umumnya.Semua itu menuju keindonesiaan. Essayist yang paling produktif di kalangan Pujangga Baru adalah STA.Selain itu, pengarang essay lainnya adalah Sanusi Pane dengan essai Persatuan Indonesia, Armyn Pane dengan essai Mengapa Pengarang Modern Suka Mematikan, Sutan Syahrir dengan essai Kesusasteraan dengan Rakyat, Dr. M. Amir dengan essai Sampai di Mana Kemajuan Kita.
3. Drama
Angkatan 33 menghasilkan drama berdasarkan kejadian yang menunjukkan kebesaran dalam sejarah Indonesia. Hal ini merupakan perwujudan tentang anjuran mempelajari sejarah kebudayaan dan bahasa sendiri untuk menanam rasa kebangsaan. Drama angkatan 33 ini mengandung semangat romantik dan idealisme, lari dari realita kehidupan masa penjjahan tapi bercita-cita hendak melahirkan yang baru , Contoh:
Sandhyakala ning Majapahit karya Sanusi Pane (1933)
Ken Arok dan Ken Dedes karya Moh. Yamin (1934)
Nyai Lenggang Kencana karya Arymne Pane (1936)
Lukisan Masa karya Arymne Pane (1937)
Manusia Baru karya Sanusi Pane (1940)
Airlangga karya Moh. Yamin (1943)
4. Puisi
Isi puisi angkatan 33 ini lebih memancarkan peranan kebangsaan, cinta kepada tanah air, antikolonialis, dan kesadaran nasional. Akan tetapi, bagaimanapun usahanya untuk bebas, ternyata dalam puisi angkatan ini masih terikat jumlah baris tiap bait dan nama puisinya berdasarkan jumlah baris tiap baitnya, seperti distichon (2 seuntai), terzina (3 seuntai), kwatryn (4 seuntai), quint (5 seuntai), sektet (6 seuntai), septima (7 seuntai), oktav (8 seuntai). Bahkan, ada juga yang gemar dalam bentuk soneta. Hal tersebut tampak dalam kumpulan sanjak:
Puspa Mega karya Sanusi Pane
Madah Kelana karya Sanusi Pane
Tebaran Mega karya STA
Buah Rindu karya Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi karya Amir Hamzah
Percikan Pemenungan karya Rustam effendi
Rindu Dendam karya J.E. Tatengkeng
Tokoh yang terkenal sebagai raja penyair Pujangga Baru dan Penyair Islam adalah Amir Hamzah. Kumpulan sanjaknya adalah Buah Rindu, Nyanyi Sunyi, dan Setanggi Timur.
Dengan demikian, ciri-ciri angkatan 33 ini yaitu:
1) Tema utama adalah persatuan
2) Beraliran Romantis Idialis.
3) Dipengaruhi angkatan 80 dari negeri Bewlanda.
4) Genre sastra yang paling banya adalah roman, novel, esai, dan sebagainya.
5) Karya sastra yang paling menonjol adalah Layar Terkembang.
6) Bentuk puisi dan prosa lebih terikat oleh kaidah-kaidah.
7) Isi bercorak idealisme
8) Mementingkan penggunaan bahasa yang indah-indah.
Contoh ciri-ciri dan karya penting pada angkatan 33:
Cirri-ciri Karya Penting pengarang
Dinamis
Individualistis
Tidak persoalkan tradisi sebagai temanya
Hasil karya bercorak kebangsaan Layar Terkembang S.T. Alisyahbana
Belenggu Armin Pane
Indonesia Tumpah Darahku Muhammad Yamin
Nyanyian Sunyi & Buah Rindu Amir Hamzah
3. Sastra Angkatan 45.
Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang masih mengingatkan kita kepada sastra Melayu. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra. Chairil Anwar segera mendapat pengikut, penafsir, pembela dan penyokong. Dalam bidang penulisan puisi muncul para penyair Asrul Sani, Rivai Apin, M. Akbar Djuhana, P. Sengojo, Dodong Djiwapraja, S. Rukiah, Walujati, Harijadi S. Hartowardoyo, Moch. Ali dan lain-lain. Dalam bidang penulisan prosa, Idrus pun memperkenalkan gaya menyoal-baru yang segera mendapat pengikut luas. Dengan munculnya kenyataan itu, banyak orang yang berpendapat bahwa sesuatu angkatan kesusastraan baru telah lahir. Pada mulanya angkatan ini disebut Angkatan Sesudah Perang, ada yang menamakannya Angkatan Chairil Anwar, Angkatan Kemerdekaan dan lain-lain. Pada tahun 1948 Rosihan Anwar menyebut angkatan ini dengan nama Angkatan 45. Nama ini segera menjadi populer dan dipergunakan oleh semua pihak sebagai nama resmi. Tetapi sementara itu, meskipun namanya sudah diperoleh, sendi-sendi dan landasan idealnnya belum lagi dirumuskan. Baru pada tahun 1950, “Surat Kepercayaan Gelanggang“ dibuat dan diumumkan. Ketika itu Chairil Anwar sudah meninggal. Surat kepercayaan itu ialah semacam pernyataan sikap yang menjadi dasar pegangan perkumpulan yang bernama “Gelanggang Seniman Merdeka“, yang didirikan tahun 1947. SURAT KEPERCAYAAN GELANGGANG Kami adalah ahli waris yang sah dari kebudayaan dunia dan kebudayaan ini kami teruskan dengan cara kami sendiri. Kami lahir dari kalangan orang banyak dan pengertian rakyat bagi kami adalah kumpulan campur baur dari mana dunia-dunia baru yang sehat dapat dilahirkan. Ke-Indonesiaan kami tidak semata-mata karena kulit kami yang sawo matang, rambut kami yang hitam, atau tulang pelipis kami menjorok ke depan, tapi lebih banyak oleh apa yang diutarakan oleh wujud pernyataan hati dan pikiran kami. Kalau kami bicara tentang kebudyaan Indonesia, kami tidak ingat kepada melap-lap hasil kebudayaan lama sampai mengilat dan untuk dibanggakan, tetapi kami memikirkan suatu penghidupan kebudyaan baru yang sehat. Jakarta 18 Februari 1950 Sebegitu banyak yang memproklamasikan kelahiran dan membela hak hidup Angkatan ’45, sebanyak itu pulalah yang menentangnya. Armijn Pane berpendapat bahwa Angkatan ’45 hanyalah lanjutan dari yang sudah dirintis angkatan sebelumnya, yaitu Angkatan Pujangga Baru. Pada tahun 1952, H.B. Jassin mengumumkan sebuah essai berjudul “Angkatan ‘45” yang merupakan pembelaan terhadap kelahiran dan hak hidup Angkatan ’45. Jassin mengatakatan bahwa bukan hanya dalam gaya saja perbedaan antara Angkatan ’45 ini dengan para pengarang Pujangga Baru, melainkan juga dalam visi (pandangan). Essai itu kemudian diterbitkan dalam kumpulan karangan Jassin berjudul Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Essay (1954). Chairil Anwar Chairil Anwar dilahirkan di Medan tanggal 22 Juli 1922. Sekolahnya hanya sampai mulo ( SMP ) dan itu pun tidak tamat kemudian ia belajar sendiri, sehingga tulisan-tulisannya matang dan padat berisi. Dari essai dan sajak-sajaknya jelas sekali ia seorang individualis yang bebas. Dengan berani dan secara demonstratif pula ia menentang sensor Jepang dan itu menyebabkan ia selalu menjadi incaran Kenpetai (polisi rahasia Jepang yang terkenal galak dan kejam). Sajaknya yang termasyhur dan merupakan gambaran semangat hidupnya yang memberist dan individualis berjudul AKU (ditempat lain diberi judul “Semangat”). Dalam sajak itu ia menyebut dirinya sebagai “binatang jalang”, sebutan yang segera menjadi terkenal. AKU Kalau sampai waktuku ‘Ku mau tak seorang ‘kan merayu Tidak juga kau. Tak perlu sedu sedan itu Aku ini binatang jalang Dari kumpulannya terbuang Biar peluru menembus kulitku Aku tetap meradang menerjang Luka dan bisa ‘ku bawa berlari Berlari Hingga hilang pedih peri Dan aku akan lebih tidak perduli Aku mau hidup seribu tahun lagi Selain seorang individualis, Chairil juga amat mencintai tanah air dan bangsanya. Rasa kebangsaan dan patriotismenya tampak dalam sajak-sajaknya Diponegero, Kerawang – Bekasi, Persetujuan dengan Bung Karno, Siap Sedia, erita Buat Dien Tamaela, dan lain-lain. DIPONOGORO Di masa pembangunan ini Tuan hidup kembali Dan bara kagus menjadi api Di depan sekali Tuan menanti Tak gentar. Laean banyaknya seratus kali Pedang di kanan, keris di kiri Berselubung semangat yang tak bisa mati Maju Ini barisan tak bergenderang berpalu Kepercayaan tanda menyerbu Sekali berarti Sudah itu mati Maju Bagimu negeri Menyediakan api Punah di atas menghamba Binasa di atas ditinda Sungguh pun dalam ajal baru tercapai Jika hidup harus merasai Maju Serbu Serang Terjang Meskipun dalam beberapa sajaknya ia sering seolah-olah sinis mengejek nilai-nilai moral, termasuk nilai-niai agama, sebenarnya ia bukan tidak mempunyai rasa keagamaan. Sajaknya yang berjudul Doa dan Isa menunjukkan perasaan keagamaan yang mendalam. DO’A Kepada Pemeluk Teguh Tuhanku Dalam termangu Aku masih menyebut nama-Mu Biar sudah sungguh Mengingat kau penuh seluruh Caya-Mu panas suci Tinggal kerlip lilin di kelam sunyi Tuhanku Aku hilang bentuk Remuk Tuhanku Aku mengembara di negeri asing Tuhanku Di pintu-Mu aku mengetuk Aku tidak bisa berpaling. Sajak-sajak Chairil merupakan renungan tentang hidup, penyelaman terhadap kenyataan, lukisan perasaan manusia, cinta-kasih, berahi, dan lain-lain. Beberapa sajaknya sangat romantis sepeti Tuti Artic, Senja di Pelabuhan Kecil, Cintaku Jauh di Pulau, dan lain-lain. Dalam sajak Sorga ia sangat sinis mengejek manusia-manusia yang membayangkan sorga dalam ukuran duniawi. Masih ketika ia hidup, telah timbul heboh karena sajaknya yang berjudul Datang Dara Hilang Dara yang diumumkan dalam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat dari sajak Hsu Chih Mo berjudul A Song of Sea. Tatkala sudah meninggal, heboh tentang plagiat ini timbul lagi karena beberapa sajaknya yang lain ternyata berdasarkan sajak-sjak orang lain tanpa menyebut sumbernya. Sajaknya Kerawang-Bekasi ternyata plagiat dari sajak Archibald MacLeish berjudul The Young Dead Soldiers. Demikian juga sajak Kepada Peminta-minta, Rumahku dan lain-lain. Pada tahun 1948, Chairil Anwar menerbitkan dan memimpin redaksi majalah Gema Suasana tetapi segera pula ditinggalkannya. Ia tak pernah betah lama-lama kerja di suatu kantor dan pada tahun 1949, tanggal 28 April ia meninggal di RSU Pusat Jakarta karena serangan penyakit tipes dan penyakit lain. Ketika dikuburkan dipemakaman karet masyarakat Jakarta menunjukan perhatian yang besar dengan mengirimkan jenazahnya. Setelah meninggal sajak-sajaknya diterbitkan orang sebagai buku: Kerikil Tajam dan yang Terampas dan yang Luput (1949), Deru Campur Debu (1949), Tiga Menguak Takdir (1950). Yang terakhir merupakan kumpulan sajak bertiga dengan Asrul Sani dan Rivai Apin. Tulisan-utlisan Chairil yang tidak dimuat dalam ketiga kumpulan itu kemudian diterbitkan dengan kata pengantar H.B. Jassin berjudul Chairil Anwar Pelopor Angkatan 45 (1956). Dan sajaknya telah diterjemahkan kedalam bahasa asing di antaranya di dalam bahasa Inggris, Perancis, Spanyol, Belanda, Rusia, Hindia, dan lain-lain. Asrul Sani dan Rivai Apin Penyair kawan seangkatan Chairil Anwar yang bersama sama mendirikan “ Gelanggang Seniman Merdeka “ ialah Asrul Sani dan Rivai Apin. Ketiga penyair itu biasanya dianggap sebagai trio pembaharu puisi Indonesia, pelopor Angkatan 45. Ketiga penyair itu menerbitkan kumpulan sajak bersama, Tiga Menguak Takdir (1950). Asrul Sani lahir di Riau Sumatera Barat tanggal 10 Juni 1926, ia pertama kali mengumumkan sajak dan karyanya yang lain dalam majalah Gema Suasana dan Mimbar Indonesia , tahun 1948. Asrul Sani seorang sarjana keDokteran Hewan yang kemudian menjadi Direktur Akedemi Teater Nasional Indonesia (ATNI) dan menjadi ketua Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia (LESBUMI), juga pernah duduk sebagai DPRGR/MPRS Wakil Seniman. Sajak-sajak Asrul Sani sangat merdu (melodius). Kata-katanya memberikan citra (image) yang lincah dan segar. Dalam sikap ia seorang moralis yang sangat mencintai dan meratapi manusia dan kemanusiaan. Sajak-sajaknya Mantera dan Surat dari Ibu menunjukkan pandangan hidupnya yang moralis. MANTERA Raja dari batu hitam Di balik rimba kelam, Naga malam, Mari ke mari! Aku laksamana dari lautan menghentam malam hari Aku panglima dari segala burung rajawali Aku tutup segala kota, aku sebar segala api, Aku jadikan belantara, jadi hutan mati. Tapi aku jaga supaya janda-janda tidak diperkosa. Budak-budak tidur di pangkuan bunda Siapa kenal daku, akan kenal bahagia Tidak takut pada hitam, Tiada takut pada kelam Pitam dan kelam punya aku. Dalam sajak itu dia mengaku bahwa dirinya sebagai “laksamana dari lautan” dan “panglima dari segala burung rajawali yang menutup segala kota sambil menyebarkan api, supaya janda-janda tidak diprkosa” dan supaya “budak-budak tidur di pangkuan bunda.” Analisis Puisi “AKU” karya Chairil Anwar.
AKU
Kalau sampai waktuku
Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari
Berlari
Hingga hilang pedih peri
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
(Chairil Anwar)
Analisis Makna :
Kalau sampai waktuku
‘Ku mau tak seorang kan merayu
Tidak juga kau
Dalam baris pertama “kalau sampai waktuku” Si “aku” membuang semua kekhawatirannya tentang suatu kematian. Dia tidak lagi perduli kepada siapa saja yang yang merayunya. Tidak juga kekasinya.
Tak perlu sedu sedan itu
Aku ini binatang jalang
Dari kumpulannya terbuang
Si “aku” memesankan kepada orang-orang terdekatnya supaya supaya melepasnya, jika saatnya telah tiba menghadap sang khalik. Bahkan dia menyebt-nyebut dirinya sebagai binatang jalang, Sebuah simbol kehinaan.
Biar peluru menembus kulitku
Aku tetap meradang menerjang
Luka dan bisa kubawa berlari Berlari
Hingga hilang pedih peri
Si “aku” berterus terang tentang apa yang telah di deritanya, tapi dia tetap mencoba untuk menanggungnya sendiri. Karena jika saatnya tiba, semua perih akan hilang.
Dan aku akan lebih tidak perduli
Aku mau hidup seribu tahun lagi
Si “aku” ingin hidup seribu tahun lagi. Di sini Chairil telah menjelma si “aku”. Walaupun raganya telah tiada, tapi dia ingin karyanya tetap hidup selamanya Sigodang Pos.
Contoh ciri-ciri dan karya penting pada periode ‘45
Ciri-ciri karya pengarang
Bebas
Individualistis
Universitalitas
realitas Aku Chairil Anwar
Tiga Menguak Takdir Chairil Anwar, Asrul Sani, Riayi Apin
Atheis Achdiat Karta Mihardja
Dari Ave Maria ke Jalan Lain Roma Idrus
Surat Kertas Hijau dan Wajah Tak Bernam Sitor Situmorang
4. Sastra Angkatan 66 (1966)
Nama angkatan 66 dikemukakan oleh H.B.Jassin oleh karena itulah diberi nama sastra H.B Jasin. Angkatan 66 muncul di tengah-tengah keadaan politik bangsa Indonesia yang sedang kacau. Kekacauan politik itu terjadi karena adanya teror PKI. Akibat kekacauan politik itu, membuat keadaan bangsa Indonesia kacau dalam bidang kesenian dan kesusatraan. Akibatnya kelompok lekra di bawah PKI bersaing dengan kelompok Manikebu yang memegang sendi-sendi kesenian, kedamaian, dan pembangunan bangsa dan Pancasila.
a. Ciri-ciri Puisi
Struktur Fisik
Berbentuk balada
Menggunakan gaya repetisi
Menggunakan gaya slogan dan retorik
Bercorak kedaerahan
Masalah sosial, kemiskinan, pengangguran, demonstrasi
b. Ciri-ciri Prosa dan Dram
Struktur Fisik
Karya prosa fiksi dan drama tahun 60-an masih menunjukkan struktur fisik konvensional. Seperti dikatakan oleh Sumarjo “ Kaidah mimesis dalam sastra masih dipatuhi dalam penulisan sastra drama tahun 1950-an dan 60-an di Indonesia.Hal ini menunjukkan bahwa belum terjadi perubahan dalam hal penokohan, alur, dan latar ceritanya. Bahkan berdasarkan catatan Sumarjo “ Dari 55 drama yang ada sebanyak 45 drama memasang tokoh yang jelas sekali nama, usia, watak, dan latar belakang sosiologisnya.
Struktur Tematik
Perjuangan ( Berlatar revolusi )
Kehidupan pelacur
Sosial
Kejiwaan
Keagamaan
Puisi-puisinya kebanyakan bersifat naratif dan prosais. Puisi-puisi demonstrasi kebanyakan sangat prosaiS. Puisi-puisinya tidak semuanya puisi demonstrasi, bahkan lebih banyak puisi yang bukan puisi demonstrasi.
a) ciri struktur estetik
puisi :
1. gaya epik (bercerita) berkembang dengan berkembngnya puisi cerita dan balada, dengan gaya yang lebih sederhana dari puisi lirik.
2. gaya mantra mulai tampak balada-balada
3. gaya ulangan mulai pada berkembang (meskipun sudah dimulai oleh angkatan 45)
4. gaya puisi liris pada umumnya masih meneruskan karya gaya angkatan 45.
5. gaya slogan dan retorik makin berkembang.
Prosa :
Dalam hal prosa, rupa-rupanya cirri-ciri struktur estetik angkatan 45 masih tetap diteruskan oleh periode 50 ini hingga pada dasarnya tak ada perbedaan cirri struktur estetik prosa ini baru tampak jelas dalam periode 70.
Hanya saja pernah dikatakan bahwa gaya bercerita pada periode angkatan 50 ini adalah gaya murni bercerita, dalam arti, gaya bercerita hanya menajikan cerita saja, tanpa menyisipkan komentar, pikiran-pikiran sendiri, atau pandangan-pandangan semuanya itu melebur dalam cerita seperti puisi imajisme yang hanya menyajikan imaj-imaji berupa lukian atau gambaran, sedangka pikiran, tema, kesimpulan, terserah pada pembaca bagaimana menafsirkannya.
b) cirri-ciri ekstra estetik
puisi :
1. ada gambaran suasana muram karena menggambarkan hidup yang penuh penderitaan.
2. mengungkapkan masalah-masalah social, kemiskinan, pengangguran, perbedaan kaya miskin yang besar, belum adanya pemerataan hidup.
3. banyak mengemukakan cerita-cerita dan kepercayaan rakyat sebagai pokok-pokok sajak balada.
prosa
1. cerita perang mulai berkurang.
2. menggambarkan kehidupan sehari-sehar.
3. kehidupan pedesaan dan daerah mulai digarap seperti tampak dalam novel Toha Mochtar pulang, Bokor Hutasuhut : Penakluk Ujung Dunia, dan cerpen-cerpen Bastari Asnin : Di Tengah Padang dan cerpen-cerpen Bastari Asnin Di Tengah Padang dan cerpen-cerpen Yusah Ananda.
4. banyak mengemukakan pertentangan-pertentangan politik.
Contoh ciri-ciri karya penting pada Angkatan ‘66
Ciri-ciri Karya Pengarang
Kebanyakan tentang protes terhadap social dan politik
Mulai dikenal gaya epic pada puisi
Banyak penggunaan gaya retorik dan slogan
Cerita dengan berlatar perang Pagar Kawat
Berduri Toha Mochtar
Tirani dan Benteng Taufiq Ismail
Pariksit Goenawan Mohammad
Para Priayi Umar Kayam
Mata Pisau dan Peluru Kertas Supardi Joko Damono
5. SastraAngkatan ’70-an
Sekitar tahun ’70-an, muncul karya-karya sastra yang lain dari sebelumnya yang dimana tidak menekankan pada makna kata yang kemudian digolongkan kedalam jenis sastra kontemporer. Berikut ini ciri-ciri karya sastra periode Angkatan 1970.
Puisi
a) Mempergunakan sarana kepuitisan yang khusus berupa frasa.
b) Mempergunakan teknik pengungkapan ide secara sederhana,
c) dengan kalimat-kalimat biasa atau sederhana.
d) Mengemukakan kehidupan batin religius yang cenderung mistik.
e) Menuntut hak-hak asasi manusia misalnya: kebebasan, hidup
f) merdeka, bebas dari penindasan, menuntut kehidupan yang layak, dan bebas dari pencemaran kehidupan modern.
g) Mengemukakan kritik sosial atas kesewenang-wenangan terhadap kaum lemah, dan kritik atas penyelewengan.
Prosa
a) Alur berbelit-belit.
b) Pusat pengisahan bermetode orang ketiga.
Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”
. . . .
(iarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976)
Dari kutipan di atas dapat dilihat bahwa novel iarah menggunakan sudut pandang orang ketiga. Penulis menyebut tokoh utama dengan sebutan ”dia”.
c) Mengeksploitasi kehidupan manusia sebagai individu, bukan sebagai makhluk komunal.
Contoh:
. . . .
”Tiap langkahnya adalah dia yang ziarah pada kemanusiaan.
Pada dirinya sendiri.”
. . . .
(iarah, Iwan Simatupang, Djambatan, Jakarta, 1976)
Dari kutipan tersebut dapat dilihat bahwa penulis hanya mengeksploitasi manusia sebagai makhluk individu yang hanya menghargai keberadaan dirinya sendiri. Hal ini dapat dilihat darikalimat pada dirinya sendiri.
d) Mengemukakan kehidupan yang tidak jelas.
e) Mengedepankan warna lokal (subkultur), latar belakang kebudayaan lokal.
Contoh ciri-ciri dan karya penting pada angkatan ’70-an
Ciri-ciri Karya pengarang
Diabaikannya unsur makna
Penuh semangat eksperimentasi
Beraliran surealistik
Dalam drama, pemain sering improvisasi O, Amuk, Kapak Sutardji Calzoum Bachri
Hukla Leon Agusta
Wajah Kita Hamid Jabar
Catatan Sang Koruptor F. Ibrahim
Dandandik Ibrahim Sattah
6. SASTRA ANGKATAN 80-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan oleh karena itulah disebut dengan satra percintaan. Sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
Beberapa sastrawan yang dapat mewakili angkatan dekade 1980-an ini antara lain adalah: Remy Sylado, Yudistira Ardinugraha, Noorca Mahendra, Seno Gumira Ajidarma, Pipiet Senja, Kurniawan Junaidi, Ahmad Fahrawie, Micky Hidayat, Arifin Noor Hasby, Tarman Effendi Tarsyad, Noor Aini Cahya Khairani, dan Tajuddin Noor Ganie.
Nh. Dini (Nurhayati Dini) adalah sastrawan wanita Indonesia lain yang menonjol pada dekade 1980-an dengan beberapa karyanya antara lain: Pada Sebuah Kapal, Namaku Hiroko, La Barka, Pertemuan Dua Hati, dan Hati Yang Damai. Salah satu ciri khas yang menonjol pada novel-novel yang ditulisnya adalah kuatnya pengaruh dari budaya barat, di mana tokoh utama biasanya mempunyai konflik dengan pemikiran timur.
Mira W dan Marga T adalah dua sastrawan wanita Indonesia yang menonjol dengan fiksi romantis yang menjadi ciri-ciri novel mereka. Pada umumnya, tokoh utama dalam novel mereka adalah wanita. Bertolak belakang dengan novel-novel Balai Pustaka yang masih dipengaruhi oleh sastra Eropa abad ke-19 dimana tokoh utama selalu dimatikan untuk menonjolkan rasa romantisme dan idealisme, karya-karya pada era 1980-an biasanya selalu mengalahkan peran antagonisnya.
Namun yang tak boleh dilupakan, pada era 1980-an ini juga tumbuh sastra yang beraliran pop, yaitu lahirnya sejumlah novel populer yang dipelopori oleh Hilman Hariwijaya dengan serial Lupusnya. Justru dari kemasan yang ngepop inilah diyakini tumbuh generasi gemar baca yang kemudian tertarik membaca karya-karya yang lebih berat.
Karakteristik karya sastra angkatan 80-an
1. Puisi yang dihasilkan bercorak spritualreligius. Misalnya; Kubakar Cintaku Karya Emba Ainun Najib,
2. Pada sajak cenderung mengangkat tema tentang ketuhanan dan mistikisme,
3. Para sastrawan menggunakan konsep improvisasi,
4. Karya sastra yang dihasilkan mengangkat masalah konsep kehidupan sosial masyarakat yang memuat kritik sosial, politik, dan budaya,
5. Menuntut hak asasi manusia, seperti kebebasan,
6. Bahasa yang digunakan realistis, bahasa yang ada dimasyarakat dan romantis,
7. Dalam karya sastra terdapat konsepsi pembebasan kata dari pengertian aslinya,
8. Mulai menguat pengaruh dari budaya barat, dimana tokoh utama biasanya mempunyai konflikdengan pemikiran timur,
9. Didominansi oleh roman percintaan,
10. Novel yang dihasilkan mendapat pengaruh kuat dari budaya barat, dimana tokoh utamanyamempunyai konflikdengan pemikiran timur dan mengalahkan tokoh anta gonisnya.
Contoh ciri-ciri dan karya pada Angkatan ’80-an
Ciri-ciri Karya Pengarang
Didominasi oleh roman percintaan
Konvensional : tokoh antagonis selalu kalah
Tumbuh sastra beraliran pop
Karya sastra tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer
Burun- Burung Manyar Y.B Mangun Wijaya
Boko Darman Moenir
Ronggen Dukuh Paruk Ahmad Tohari
Lupus Hilman Hariwijaya
7. Sastra Angkatan Reformasi
Seiring terjadinya pergeseran kekuasaan politik dari tangan Soeharto ke BJ Habibie lalu KH Abdurahman Wahid (Gus Dur) dan Megawati Sukarnoputri, muncul wacana tentang “Sastrawan Angkatan Reformasi”. Munculnya angkatan ini ditandai dengan maraknya karya-karya sastra, puisi, cerpen, maupun novel, yang bertema sosial-politik, khususnya seputar reformasi. Di rubrik sastra harian Republika misalnya, selama berbulan-bulan dibuka rubrik sajak-sajak peduli bangsa atau sajak-sajak reformasi. Berbagai pentas pembacaan sajak dan penerbitan buku antologi puisi juga didominasi sajak-sajak bertema sosial-politik.
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel — pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Karakteristik karya sastra angkatan 2000-an
a. Menggunakan kata-kata maupun frase yang bermakna kontatif
b. Banyak menyindir keadaan sekitar baik sosial, budaya, politik, atau lingkungan
c. Revolusi tipografi atau tata wajah yang bebas aturan dan kecenderungan ke puisi kongkret yang di sebut antromofisme
d. Kritik sosial sering muncul lebih keras
e. Penggunaan estetika baru
f. Karya cenderung vular,
g. Mulai bermunculan fiksi-fiksi islami,
h. Munculnya cyber sastra di Internet
i. Cirri-ciri bahasa diambil dari bahasa sehari-hari yaitu kerayatjelataan,
Karya sastra angkatan 2000-an adalah suatu karya sastra yang bersifat kritis terhadap keadaan lingkungan sekitarnya, baik dari segi budaya, politik,dan sosial.setiap angkatan karya sastra mulai dari pujanga baru sampai sekarang memiliki cirikhas atau karakteristik tersendiri agar tetap mengikuti perkembngan zaman
Pada masa ini para pengarang sangat bebas bereksprimen dalam penggunaan bahasa dan bentuk. Seperti dikatakan Ajip Rosidi (1977 : 6), dalam Laut Biru Langit Biru, bahwa : mereka seakan ingin menjajagi sampai batas kemungkinan bahasa Indonesia sebagai alat pengucapan sastra, disamping mencoba batas-batas kemungkinan berbagai bentuk, baik prosa maupun puisi, sehingga perbedaan antara prosa dan puisi kian tidak jelas.
a. Puisi
Struktur Fisik
1. Puisi bergaya mantera menggunakan sarana kepuisian berupa ulangan kata, frasa atau kalimat. Gaya bahasa para lelisme dikombinasikan dengan gaya hiperbola untuk memperoleh efek yang sebesar-besarnya serta menonjolkan tipografi,
2. Puisi konkret sebagai eksperimen,
3. Banyak menggunakan kata-kata daerah untuk memberi kesan yang ekspresif
4. Banyak menggunakan permainan bunyi
5. Gaya penulisan yang prosais,
6. Menggunakan kata-kata yang sebelumnya dianggap tabu
Strukt Tematik
1. Protes terhadap kepincangan dalam masyarakat
2. Kesadaran bahwa aspek manusia merupakan subyek dan bukan obyek pembangunan
3. Banyak mengungkapkan kehidupan batin religius dan cenderung mistis
4. Cerita dan pelukisan bersifat alegoris dan parable
5. Perjuangan hak-hak asasi manusia
6. Kritik sosial terhadap alangan birokrat
b. Prosa dan Drama
Struktur Fisik
1. Melepaskan ciri konvensional, menggunakan pola sastra “absurd” dalam tema, alur, tokoh,
2. Maupun latar,
3. Menampakkan ciri latar kedaerahan “Warna local “
Struktur Tematik
1. Sosial, politik, kemiskinan
2. Kejiwaan
3. Mehifisik
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi :
1. Ahmadun Yosi Herfanda
Karyanya :
RESONANSI INDONESIA
Bahagia saat kau kirim rindu
Termanis dari lembut hatinu
Jarak yang memisahkan kita
Laut yang mengasuh hidup nahkoda
Pulau-pulau yang menumbuhkan kita
Permata zamrud di katulistiwa
: kau dan aku berjuta tubuh satu jiwa
Kau semakin benih-benih kasih
Tertanam dari manis cintamu
Tumbuh subur diladang tropika
Pohon pun berubah apel dan semangka
Kita petik bersama bagi rasa bersaudara
: kau dan aku berjuta kata satu jiwa
Kau dan aku
Siapakah kau dan aku ?
Jawa, Cina, Aceh, Batak, Arab, Dayak
Sunda. Madura, Ambon, atau Papua ?
Ah, Tanya itu tak penting lagi bagi kita
: kau dan aku
Berjuta wajah satu jiwa
Ya, apalah artinya tembok pemisah kita
Apalah artinya rahim ibu yang berbeda ?
Jiwaku dan jiwamu, jiwa kita
Tulus menyatu dalam asuhan
Burung garuda
(Jakarta, 1984/1999)
2. Justina Ayu Utami
Ayu Utami dalam novel “Saman” berhasil menciptakan representasi seksualitas. “mengarang bagis aya adalah kesedihan, melibatkan, meleburkan diri dan menerima kemungkinan yang direncanakan”.
Dalam novel “Saman” terdapat tokoh bernama Upi, seorang gadis cecat mental, tetapi fisik dan enstrogen serta progestorannya tumbuh matang. Dalam novel itu diceritakan bahwa menurut ibunya Upi beringas sekitar satu minggu menjelang haid. Upi sering melakukan onani dengan mnasturbasi menggosokkan selengkangannya pada pohon, tiang listrik, pagar, sudut tembok. Dia juga gemar memperkosa binatang. Ia juga kerap dimanfaatkan oleh lelaki iseng yang ingin meninkmati tubuhnya. Kemudian ada tokoh Roma Wis yang membuatkan rumah buat buat Upi yang bisa menjamin aktivitas seksualnya, juga membuatkan patung yang diberi nama Totem Phallus sebagai analogi pacar Upi dan ia boleh bermasturbasi dengan patung itu. (Saman, 78)
Dalam novel “Saman” digambarkan pula fenomena ‘revolusi seksual’ dikota-kota besar, dimana terjadi pergeseran nilai-nilai ketika perempuan merasa menemukan symbol kemandirian melalui kebebasan seks. Digambarkan bagaimana perempuan terpelajar generasi bari seperti tokoh Cok dengan entengnya membawa-bawa kondom dalam tas sekolah dan asyik berganti-ganti pasangan. Kemudian ada tokoh sakuntala yang dengan kesadaran penuh mendekap kebudayaan Barat yang serba premitif yang disimbolkan sebagai raksasa, bahkand engan kesadaran Sakuntala merusak selaput darahnya sendiri sebagai tanda pemberontakan terhadap tatanan etika dan merallitas social yang dianggap membelenggunya.
Sosok- sosok perempuan dalam novel “Saman dan Larung” menggambarkan citra perempuan Indonesia yang memiliki keterpelajaran, intelektual, bahkan social ekonomi yangkuat tetapi tidak dapat melepaskan dirid ari carut-maarut kebudayaan Order Baru yang larut dalam kapitalisme. Para tokoh perempuan tersebut pada satu sisi mampu meraih kemadirian dan berhasil membongkar ruang domestic untuk mencapai ruang public yang amat luas, tetapi di sisi lain mereka sebenranya menjadi tumbal kebudayaan yang mengalami depresi dalam upaya menrjemahkan makna pemberontakan, perlawanan, kebebasan dan kemandirian. Mereka sebenarnya tetaplah Siti Nurbaya modern yang menghadapi Datuk Maringgih baru yang lebih kejam dan canggih, yakni kapitalisme yang serba permisif dengan bentuknya lebih gemerlap, lebih cerdas, lebih bebas, serta lebih culas.
3. Afrizal Malna
Contoh puisi yang dimuat dalam HU Pikiran Rakyat, Sabtu 28 Juli 2007 (mewakili sastra Koran):
SOB BUNTUT
“Tuan, di buncit perutmu apa ada
Padang rumput?” sepasang sapi jantan
Dan berina bertanya demikian kepadaku.
Hujan kembali membaca akar tumbuhan
Yang kering digarang kemarau. Kota desergap
Demam ribuan buruh pabrik gulung tikar.
Sepasang sapi jantan dan betina membayang
Di kuah sop buntut di restoran hotel bintang lima
Yang sering dipajak para pecundang. Dan aku
Terkejut. Mana mungkin diperutku yang buncit
Ada padang rumput selain hijau padang golf?
Begitulah. Maut mengirim isyarat. Dunia
menggeliat dalam kobaran api hutan bakar
kepala si miskin dipenggal begal digelap malam
raungnya lenyap ditelan lembut alum musik jazz
di restoran hotel bintang lima. “Tuan apa ada
menu terakhir yang ingin anda santap?”
(2006)
4. Rieke Diah Pitaloka
Contoh karya puisinya :
NOTE
Ini penting:
Kalau nanti malam
Kau bertemu Tuhan
Tolong tanyakan padanya
Apakah Adam diciptakan
Untuk memperkosa Hawa?
Ini penting!
(Tabet, 24/06/2001)
Contoh ciri-ciri dan karya pada Angkatan Reformasi
Ciri-ciri Karya pengarang
Bertemakan social-politik
Penuh kebebasan ekspresi dan pemikiran
Menampilkan sajak-sajak peduli bangsa
Religious dan nuansa sufistik Puisi Pelo Widji Thukul
Resonansi Indonesia
Ahmodun Yosi Herfanda
Di Luar Kota
Acep Zamzam Noer
Abad yang Berlari Afrizal Malna
Opera Kecoa N. Rianto
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tiap periode sastra dari angkatan 20-an sampai 2000 memiliki perbedaan. Yaitu sebagai berikut :
1. Angkatan 20-an atau Angkatan Balai Pustaka
Dari segi tema, banyak mengangkat cerita tentang kawin paksa dan pertentangan paham antara yang tua dan yang muda dan bahasa yang digunakan pada angkatan masih menggunakan bahasa melayu.
2. Angkatan 33 atau Angkatan Pujangga Baru
Karya sastra pada angkatan ini berbeda dengan karya sastra dengan angkatan sebelumnya. Seni menurut mereka, harus mampu membangun bangsa dan negara. Oleh karena itu, karya sastra angkatan ini lebih bersifat dinamis, individualistis, dan tidak terikat tradisi. Dan dari segi bahasa karya sastra yang tercipta pada angkatan ini menggunakan gaya bahasa yang indah.
3. Sastra Angkatan 45.
Para sastrawan pujangga angkatan ’45 lebih menggambarkan keadaan jaman tersebut dengan berbagai keadaan sebelumnya. Para sastrawan ini berani menciptakan sebuah aturan baru dalam dunia sastra yang lepas dari aturan yang lebih mengikat diangkatan sebelumnya, walaupun sebelumnya aturan ini ditentang tetapi lambat laun dapat diterima.
4. Sastra Angkatan 66 (1966)
Dari segi tema angkatan 66 lebih menekankan pada kritikan terhadap pemerintahan orde lama yang gagal dalam mensejahterakan rakyat Indonesia dan gagalnya pemerintahan menciptakan stabilitas keamanan didalam negeri sehingga banyak daerah yang memberontak.. Dalam penggunaan bahasa pada angkatan 66 lebih sopan dan tidak menggunakan bahasa-bahasa yang bersifat sehari-hari (informal). Dalam penciptaan karya sastra angkatan 66 lebih mudah dipahami karena masih memakai aturan-aturan yang ada dalam penciptaan karya sastra.
5. Satra angkatan 70-80-an
Kata-kata dari bahasa daerah banyak dipergunakan untuk memberi efek kedaerahan dan efek ekspresif.
Gaya bahasa paralelisme dikombinasi dengan gaya bahasa hiperbola dan enumerasi dipergunakan penyair untuk memperoleh efek pengucapan maksimal, tipografi di eksploitasi secara sugestif dan kata-kata nonsense dipergunakan dan diberi makna baru.
Puisi-puisi imajisme banyak ditulis, dalam puisi imajis banyak digunakan khiasan, alegari, ataupun parable.
Banyak kata-kata tabu yang digunakan baik dalam konteks puisi main-main, puisi protes, puisi pamflet, maupun puisi konkret .
Banyak ditulis puisi lugu yang mempergunakan ungkapan gagasan secara polos dengan kata-kata serebral dan kalimat biasa yang polos.
6. Sastra angkatan 2000
Angkatan 2000 lebih menekankan kritikan terhadap demokrasi yang tidak berjalan dan hegemoni birokrat dalam setiap bidang serta ketidakmampuan pemerintahan orde baru dalam menciptakan stabilisasi ekonomi. Pada angkatan 2000 penggunaan bahasa lebih bebas dan menggunakan bahasa yang informal, dalam angkatan 2000 karya sastra yang dihasilkan seolah mendobrak tradisi yang ada dan cenderung lebih bersifat kontemporer.
SASTRAWAN DAN KARYANYA PADA SETIAP PERIODISASI SASTRA
1. PUJANGGA LAMA
Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karya-kaya penting berbahasa melayu terutama karya-karya keagamaan.
Hamzah Pansuri adalah yang pertama diantara penulis angkatan pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf Singkir serta Nuruddin Arraniri.
• Karya sastra pujangga lama
1. Hikayat
- Hikayat Abdullah - Hikayat Kalia dan Damina
- Hikayat Aceh - Hikayat masyidullah
- Hikayat Amir Hamzah - Hikayat Pandawa jaya
- Hikayat Andaken Panurat - Hikayat Panda Tonderan
- Hikayat Bayan Budiman - Hikayat Putri Djohar Munikam
- Hikayat Hang Tuah - Hikayat Sri Rama
- Hikayat Iskandar Zulkarnaen - Hikayat Jendera Hasan
- Hikayat Kadirun - Tasibul Hikaya
2. Syair
- Syair Bidasari
- Syair Ken Tambuhan
- Syair Raja Mambang Jauhari
- Syair Raja Siam
3. Kitab Agama
- Syarab Al Asyidiqin (minuman para pecinta) oleh Hamzah Panzuri
- Asrar Al-arifin (rahasia-rahasia gnostik) oleh Hamzah Panzuri
- Nur ad-duqa’iq (cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsudin Pasai.
- Bustan as-salatin (taman raja-raja) oleh Nuruddin Ar-Raniri.
2. SASTRA MELAYU LAMA
Karya Sastra Prosa Balai Pustaka dan Tokoh-tokohnya:
1. Merari Siregar
Azab dan Sengsara (Novel, 1920)
2. Marah Rusli
Sitti Nurbaya (novel/roman)
3. Abdul Muis
Salah Asuhan (Novel, 1928)
Pertemuan Jodoh (Novel, 1933)
Surapati (Novel, 1950)
Robert Anak Surapati (Novel, 1953)
4. Muhamad Kasim
Muda Taruna
Buah di Kedai Kopi
5. Suman H. S
Kasih Tak Terlarai (novel, 1929)
Percobaan Setia (novel, 1931)
Mencari Pencuri Anak Perawan (novel, 1932)
Casi Tersesat (novel, 1932)
Kawan Bergelut (kumpulan cerpen, 1938)
Tebusan Darah (novel, 1939)
6. Adinegoro
Darah Muda (novel, 1927)
Asmara Jaya (novel, 1928)
Melawat Ke Barat (novel, 1930)
7. Tulis Sutan Sati
Sengsara Membawa Nikmat (novel, 1928)
Tak Disangka (novel, 1929)
Syair Siti Marhumah Yang Saleh (1930)
Memutuskan Pertalian (novel,1932)
Tiak Membalas Guna (novel, 1932)
8. Abas Sutan Pamunjak Nan Sati
Dagang Melarat (novel, 1926)
Pertemuan (novel, 1927)
Putri Zahara atau Bunga Tanjung di Pasar Pasir (Afrika) (novel, 1947)
Jambangan (Kumpulan Sajak, 1947)
Karya Sastra Puisi Balai Pustaka dan Tokoh-tokohnya
1. Muhhamad Yamin
Tanah Air
Indonesia Tumpah Darahku.
2. Roestam effendi
Percikan Permenungan.
3. Sanusi pane
Pancaran Cinta
Puspa Mega.
4. Aman Datuk Mojoindo
Syair si Banso (gadis durhaka), 1931
Syair Gul Bakawali, 1936
5. Tulis Sutan Sati
Sayair Siti Marhumah yang Saleh.
6. Hamzah Fansuri
Syair Perahu
3. PUJANGGA BARU
Masa ini ada dua kelompok sastrawan Pujangga baru yaitu : Kelompok “Seni untuk Seni” yang dimotori oleh Sanusi Pane dan Tengku Amir Hamzah dan Kelompok “Seni untuk Pembangunan Masyarakat” yang dimotori oleh Sutan Takdir Alisjahbana, Armijn Pane dan Rustam Effendi. Penulis dan Karya Sastra Pujangga Baru :
1. Sutan Takdir Alisjahbana
Dian Tak Kunjung Padam (1932)
Tebaran Mega kumpulan sajak (1935)
Layar Terkembang (1936)
Anak Perawan di Sarang Penyamun (1940)
2. Hamka
Di Bawah Lindungan Ka’bah (1938)
Tenggelamnya Kapal van der Wijck (1939)
Tuan Direktur (1950)
Didalam Lembah Kehidoepan (1940)
3. Armijn Pane
Belenggu (1940)
Jiwa Berjiwa
Gamelan Djiwa – kumpulan sajak (1960)
Djinak-djinak Merpati – sandiwara (1950)
Kisah Antara Manusia – kumpulan cerpen (1953)
4. Sanusi Pane
Pancaran Cinta (1926)
Puspa Mega (1927)
Madah Kelana (1931)
Sandhyakala Ning Majapahit (1933)
Kertajaya (1932)
5. Tengku Amir Hamzah
Nyanyi Sunyi (1937)
Begawat Gita (1933)
Setanggi Timur (1939)
6. Sariamin Ismail
Kalau Tak Untung (1933)
Pengaruh Keadaan (1937)
Anak Agung Pandji Tisna
Ni Rawit Ceti Penjual Orang (1935)
Sukreni Gadis Bali (1936)
I Swasta Setahun di Bedahulu (1938)
J.E.Tatengkeng ,Rindoe Dendam (1934)
7. Fatimah Hasan Delais
Kehilangan Mestika (1935)
4. ANGKATAN 1945
Karya-karya yang lahir pada masa angkatan 45 ini sangat berbeda dari karya sastra masa sebelumnya. Ciri khas angkatan 45 ini yaitu bebas, individualistis, universalistik, realistik, futuristik.
1. Usmar Ismail
Permintaan Terakhir. (Cerita pendk)
Asokamala Dewi, (Cerita pendek)
Puntung berasap, (Kumpulan sanjak; BP 1950)
Sedih dan gembira, (Kumpulan drama; BP 1948) yang terdiri atas : a. Citra, b. Api, c. Liburan seniman.
Mutiara dari Nusa Laut. (Drama).
Tempat yang kosong.
Mekar melati
Pesanku, (Sandiwara radio)
Ayahku pulang. (sandiwra sanduran dari cerita Jepang serta pernah difimkan dengn judul film “Dosa tak berampun”).
2. Dr. Abu Hanifa
Taufan di atas awan. (Kumpulan sandiwara).
Dokter Rimbu, (Roman 1952).
Kita berjuang, (1947).
Soal agama dalam negara modern.
3. Amal Hamzah
Cerita pendek yang berjudul : Teropong, Bingkai Retak, Sine Nomine, dan sebagainya serta dimuat dalam pembahasab pertama.
Buku dan penulis. (kritik).
Sajak- sajak yang berkepala : Laut, Pancaran Hidup, dan sebagainya.
4. Chairil Anwar
Deru campur dubu. (kumpulan sajak 1043-1949)
Kerikil tajam dan yang terhempas dan terputus . (PR)
Tiga menguak takdir. (Dikarang bersama-sama dengan Riva’i Apain dan Asrul Sani. (kumpulan sajak).
Pulanglh dia sianak hilang. (Terjemahan Andre Gide)
Kena gempur. (Terjemahan dari Steinbeck).
5. Riva’i Apin
Mual, Tali jangkar putus, Putusan dan sebagainya.
Tiga menguak takdir
Chairil Anwar dengan maut. (Essay ; 1949)
6. Asrul Sani
Sahabat saya Cordiaz. (Cerita pendek).
Bola lampu. (Cerita pendek)
Deadlock pada puisi Emosi Semata.
Sajaknya : Anak laut, On test, Surat dari Ibu dan sebagainya.
7. Idrus
Dari Ave Maria ke jalan lain Roma. (Kumpulan cerita pendek ; BP 1948)
Anak buta. (Ceriya Pendek)
Aki. (Novel ; BP 1948)
Perempuan dan Kebangsaan.
Jibaki Aceh. (Drma).
Dokter Bisma. (Drama; 1945).
Keluarga Surano. (Drama; 1948)
Kereta api baja. (Terjemahan dari karya vsevold Ivanov).
8. Utuj Tatang Sontani
Suling. (Drama bersajak; BP 1948)
Bunga rumah makan. (Drama; BP 1948)
Tambera. (Roman sejarah; BP 1949).
Orang-orang sial. (Cerita pendek).
Awal dan Mira. (Drama).
9. Rosihan Anwar
Radoi masyarakat. (Cerita pendek).
Sajak-sajaknya antara lain: Manusia baru, Lukisan, Seruan nafas, dan sebagainya.
Raja kecil, Bajak laut di Selat Malaka. (Roman sejarah; 1967)
10. Aoh Kartahandimadja
Beberapa paham Angkatan 45 (Essay).
Sajak-sajaknya antara lain: Gubukku, Ke Desa, dan sebagainya.
Manusia dan tanahnya. (Kumpulan cerita pendek; BP 1942).
Zahra. (Kumpulan sajak dan Drama).
11. Achdiat Kartamihardja
Atheis. (Riman Psycologi; BP 1949).
Bentrokan dalam asrama. (Drama).
Polemik kebudayaan. (Essay).
Keretakan dan ketegangan. (Kumpulan cerita pendek yang mendapat hadiah BMKN tahun 1955/1966).
Kesan dan kenangan. (Kumpulan cerita pendek 1961).
12. Pramudya Ananta Toer
Perburuan. (Novel; BP 1950).
Keluarga gerilya. (Roman; Pembangunan 1950).
Pecikan revolusi. (kumpulan cerita pendek; Gapura 1950).
Subuh. (Kumpulan cerita pendek; BP 1952).
Cerita dari Blora. (Kumpulan cerita pendek; BP 1952).
Bukan pasar malam. (Novel; BP 1952).
Merka yang dilumpuhkan. (Roma).
Di tepi kali Bekasi.
Midah. Si manis bergigi emas. (Roman; Nusantara 1955).
Dia yang menyrah. (Novel).
Cerita pendek antara lain : Kemana Masa, Kwanku sel-sel, Kemelut, dan sebagainya.
13. M.Balfas
Lingkaran-lingkaran retak. (Kumpulan Prosa; Bp 1962)
Dr,djipto Mangunkusumo demokrat sejati . (Biografi).
14. Rivai Marlaut
di lantai sdansa.
15. Mochtar Lubis
Tidak ada esok. (Roman; Gapura 1950).
Jlan tak ada ujung. (Roman Psychologi; BP 1952)
Kisah dari Eropa. (Terjemahan).
Tanah gersanf. (Novel; PT.Pembangunan 1964).
Si Jamal. (Cerita endek 1950).
Perempuan. (Cerita pendek 1956).
16. Anas Ma’ruf
Citra. (Terjemahan dari Rabinranath Tagore).
Sajak-sajak antara lain: Nyalakan terus, Antara kita, Pandu masa, dan sebagainya.
17. Maria Amin
Tinjaulah dunia sana. (Cerita pendek).
Sajak-sajaknya antara lain: Penuh rahasia, Kapal udara, dan sebagainya.
18. Mahatmanto
Sajak-sajak: Cakar atau ekor, Individu, Dogma, Madrasah Muhammadiyah dn sebagainya.
19. Nursjamsu
Terawang. (Cerita Pendek).
Usmo membela Ibu. (Cerita Pendek).
Sajak-sajak antara lain: Pandai besi, Gila, Jeritan malam dan sebagainya,
20. Zuber Usman
Tamasya dengan perahu Bugis.
Puteri Bunga Karang.
21. Rusman Sutiasumarga
Yang terhempas dan terkandas. (Kumpulan cerita pendek: BP, yang antara lain memuat cerita pendek “Gadis Berkasih”
Korban romantik. (Cerita pendek; BP 1963).
22. Sitor Situmorang
Surat kertas hijau. (Kumpulan sajak: Pustaka Rakyat 1953).
Jalan nmutiara. (Kumpulan drama).
Dalam sajak.
Wajh tk bernama.
Zaman baru. (Kumpulan sajak).
Pertempuran dan salju i Paris. (1956) mendapat hadiah BMKN.
23. S. Rukiah
Kejutan dan hati.
Tandus. (Kumpulan puisi/prosa; BP 1952).
24. Trisno Sumerdjo
Kata hari dan perbuatan. (Kumpulan puisi; 1952).
Rumah raja (1957).
Daun kering. (kumpulan cerita pendek; 1962).
25. Bakri Siregar
Jejak langkah. (Kumpulan cerita pendek; 1953), yang antara lain memuat cerita pendek “Di tepi kawah”.
26. Laurens Koster Bohang
Setangkai kembang melati. (Cirita pendek).
Amir Hamzah. (Essay).
27. Bachrum Rangkuti
Insaf
Hamka
Mikraj.
28. Matu Mona
Zaman gemilanh. (Roman sejarah; 1939).
Panggilan tanah air.
Menyinggung perasaan.
29. A.A. Katili
Kenang-kenangan sepku.
30. Suwandi Tjitrowasilo
Perjalana.
31. Talim AB
Abu dan Debu.
Puisi dunia I dan II.
32. Walujati Supangat
Pujani. (Novel; Gapura, 1951).
33. Karim Halim
Palawija. (Roman sosial).
Sajak dalam majalah.
34. Rustandi Kertakusuma
Rekaman 7 daerah.
Prabu dan putri. (Sandiwara klasik; BP 1951).
Merah semua putih semua. (Drama dalam bentuk novel; BP 1961).
35. Ashar Munir Sjamsul
Bunglon.
Menanti fajar.
36. Harijadi S. Hrtowardojo
Orang buangan. (Novel).
Munafik. (Novel).
Luka bayang. (Kumpulan sajak, 1964).
Perjanjian dengan maut. (Novel, 1975)
Lerang senja. (Sajak)
5. ANGKATAN 1966 – 1970 an
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 1966
1. Taufik Ismail
Malu (Aku) Jadi Orang Indonesia
Tirani dan Benteng
Buku Tamu Musim Perjuangan
Sajak Ladang Jagung
Kenalkan
Saya Hewan
Puisi-puisi Langit
2. Sutardji Calzoum Bachri
O
Amuk
Kapak
3. Abdul Hadi WM
Meditasi (1976)
Potret Panjang Seorang Pengunjung Pantai Sanur (1975)
Tergantung Pada Angin (1977)
4. Sapardi Djoko Damono
Dukamu Abadi (1969)
Mata Pisau (1974)
5. Goenawan Mohamad
Parikesit (1969)
Interlude (1971)
Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972)
Seks, Sastra, dan Kita (1980)
6. Umar Kayam
Seribu Kunang-kunang di Manhattan
Sri Sumarah dan Bawuk
Lebaran di Karet
Pada Suatu Saat di Bandar Sangging
Kelir Tanpa Batas
Para Priyayi
Jalan Menikung
7. Danarto
Godlob
Adam Makrifat
Berhala
8. Nasjah Djamin
Hilanglah si Anak Hilang (1963)
Gairah untuk Hidup dan untuk Mati (1968)
9. Putu Wijaya
Bila Malam Bertambah Malam (1971)
Telegram (1973)
Stasiun (1977)
Pabrik
Gres
Bom
10. Djamil Suherman
Perjalanan ke Akhirat (1962)
Manifestasi (1963)
11. Titis Basino
Dia, Hotel, Surat Keputusan (1963)
Lesbian (1976)
Bukan Rumahku (1976)
Pelabuhan Hati (1978)
Pelabuhan Hati (1978)
12. Leon Agusta
Monumen Safari (1966)
Catatan Putih (1975)
Di Bawah Bayangan Sang Kekasih (1978)
Hukla (1979)
13. Iwan Simatupang
Ziarah (1968)
Kering (1972)
Merahnya Merah (1968)
Keong (1975)
RT Nol/RW Nol
Tegak Lurus Dengan Langit
14. M.A Salmoen
Masa Bergolak (1968)
15. Parakitri Tahi Simbolon
Ibu (1969)
16. Chairul Harun
Warisan (1979)
17. Kuntowijoyo
Khotbah di Atas Bukit (1976)
18. M. Balfas
Lingkaran-lingkaran Retak (1978)
19. Mahbub Djunaidi
Dari Hari ke Hari (1975)
20. Wildan Yatim
Pergolakan (1974)
21. Harijadi S. Hartowardojo
Perjanjian dengan Maut (1976)
22. Ismail Marahimin
Dan Perang Pun Usai (1979)
23. Wisran Hadi
Empat Orang Melayu
Jalan Lurus
6. ANGKATAN 1980 – 1990-an
Karya sastra di Indonesia pada kurun waktu setelah tahun 1980, ditandai dengan banyaknya roman percintaan, dengan sastrawan wanita yang menonjol pada masa tersebut yaitu Marga T. Karya sastra Indonesia pada masa angkatan ini tersebar luas diberbagai majalah dan penerbitan umum.
1. Ahmadun Yosi Herfanda
Ladang Hijau (1980)
Sajak Penari (1990)
Sebelum Tertawa Dilarang (1997)
Fragmen-fragmen Kekalahan (1997)
Sembahyang Rumputan (1997)
2. Y.B Mangunwijaya
Burung-burung Manyar (1981)
3. Darman Moenir
Bako (1983)
Dendang (1988)
4. Budi Darma
Olenka (1983)
Rafilus (1988)
5. Sindhunata
Anak Bajang Menggiring Angin (1984)
6. Arswendo Atmowiloto
Canting (1986)
7. Hilman Hariwijaya
Lupus – 28 novel (1986-2007)
Lupus Kecil – 13 novel (1989-2003)
Olga Sepatu Roda (1992)
Lupus ABG – 11 novel (1995-2005)
8. Dorothea Rosa Herliany
Nyanyian Gaduh (1987)
Matahari yang Mengalir (1990)
Kepompong Sunyi (1993)
Nikah Ilalang (1995)
Mimpi Gugur Daun Zaitun (1999)
9. Gustaf Rizal
Segi Empat Patah Sisi (1990)
Segi Tiga Lepas Kaki (1991)
Ben (1992)
Kemilau Cahaya dan Perempuan Buta (1999)
10. Remy Sylado
Ca Bau Kan (1999)
Kerudung Merah Kirmizi (2002)
11. Afrizal Malna
Tonggak Puisi Indonesia Modern 4 (1987)
Yang Berdiam Dalam Mikropon (1990)
Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir (1991)
Dinamika Budaya dan Politik (1991)
Arsitektur Hujan (1995)
Pistol Perdamaian (1996)
Kalung dari Teman (1998)
7. ANGKATAN REFORMASI
Sastrawan Angkatan Reformasi merefleksikan keadaan sosial dan politik yang terjadi pada akhir tahun 1990-an, seiring dengan jatuhnya Orde Baru. Proses reformasi politik yang dimulai pada tahun 1998 banyak melatarbelakangi kelahiran karya-karya sastra — puisi, cerpen, dan novel — pada saat itu. Bahkan, penyair-penyair yang semula jauh dari tema-tema sosial politik, seperti Sutardji Calzoum Bachri, Ahmadun Yosi Herfanda, Acep Zamzam Noer, dan Hartono Benny Hidayat dengan media online: duniasastra(dot)com -nya, juga ikut meramaikan suasana dengan sajak-sajak sosial-politik mereka.
Penulis dan Karya Sastra Angkatan Reformasi
1. Widji Thukul
Puisi Pelo
Darman
8. ANGKATAN 2000-an
Penulis dan Karya Sastra Angkatan 2000
1. Ayu Utami
Saman (1998)
Larung (2001)
2. Seno Gumira Ajidarma
Atas Nama Malam
Sepotong Senja untuk Pacarku
Biola Tak Berdawai
3. Dewi Lestari
Supernova 1: Ksatria, Puteri dan Bintang Jatuh (2001)
Supernova 2.1: Akar (2002)
Supernova 2.2: Petir (2004)
4. Raudal Tanjung Banua
Pulau Cinta di Peta Buta (2003)
Ziarah bagi yang Hidup (2004)
Parang Tak Berulu (2005)
Gugusan Mata Ibu (2005)
5. Habiburrahman El Shirazy
Ayat-Ayat Cinta (2004)
Diatas Sajadah Cinta (2004)
Ketika Cinta Berbuah Surga (2005)
Pudarnya Pesona Cleopatra (2005)
Ketika Cinta Bertasbih 1 (2007)
Ketika Cinta Bertasbih 2 (2007)
Dalam Mihrab Cinta (2007)
6. Andrea Hirata
Laskar Pelangi (2005)
Sang Pemimpi (2006)
Edensor (2007)
Maryamah Karpov (2008)
Padang Bulan dan Cinta Dalam Gelas (2010)
7. Ahmad Fuadi
Negeri 5 Menara (2009)
Ranah 3 Warna (2011)
8. Tosa
Lukisan Jiwa (puisi) (2009)
Melan Conis (2009)
9. CYBERSASTRA
Era internet memasuki komunitas sastra di Indonesia. Banyak karya sastra Indonesia yang tidak dipublikasi melalui buku namun termagtub di dunia maya (internet), baik yang dikelola resmi oleh pemerintah, organisasi non-profit, maupun situs pribadi. Ada beberapa sistus Sastra Indonesia di dunia maya misalnya: duniasastra.com.
DAFTAR PUSTAKA
Rani, Supratman Abdul. Yani Maryani. 2006. Intisari Sastra Indonesia. Bandung : CV Pustaka Setia.
http://file.upi.edu/Direktori/C%20-%20FPBS/JUR.%20PEND.%20BAHASA%20DAERAH/AGUS%20SUHERMAN/Handout%20sastra%20Indonesia.pdf
http//sejarah balai pustaka.com
Senin, 28 Oktober 2013
Teori Sastra
KRITIK TERHADAP TEORI EKSPRESIVIS
Kritik Ekpresivis Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra. Penelitian ini dianggap kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda subjektivitas pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi teringat seratus persen tentang penciptaan. Dari persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik memanipulasi alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan pencipta pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.
Pada akhir abad ke-15 sinar romantika dan ekspresionisme melai pudar Ilmu sastra mulai meniadakan unsur penulis sebagai faktor dalam memahami, mengapresiasi dan menilai karya sastra. Sastra berpedoman pada biografi pengarangnya menghadapi persoalan-persoalan mendasar yang cukup menyulitkan kebahasaannya sebagai teori sastra yang bisa dibertanggung jawabkan sacara ilmiah. Persoalan otnomi tidak lagi berkaitan dengan penulis tetapi mulai mendasar dan programatik dikemukakan oleh Wimsatt dan Beardsley dalam buku The Internasional Fallac(1987). Konsep itu mengacu pada pengertian bahwa adalah kekeliruan apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks sastra orang berpedoman pada maksud ( intensi) dan latar belakang pengarang. Pandangan Wimsatt dan beardsley secara singkat diungkapkan berikut ini.
Niat seorang pengarang dalam menulis karyanya tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses tidaknya sebuah darya sastra. Niat beerkaitan dengan tujuan dan maksud pengarang, sikapnya dalam proses penciptaan, dan dorongannya menulis karya sastra. Aliran romantik mengharuskan kita merumuskan mekna niat pengarang sehingga mereka terpaku pada hal-hal inspirasi, otensitas, biografi, sejarah sastra dan kecendekiaan. Aliran romantik menegaskan bahwa niat itu memiliki pengaruh yang jelas terhadap karya sastra yang dihasilkannya, karena makna niat itulah yang mendorongnya menuliskan karyanya.
Wimsatt dan beardsley mengemukakan dalil-dalil berikut ini untuk membuktikan bahwa makna niat pengarang tidak berpengaruh terhadap keberadaan karya sastra.
1. Sekalipun sebuah karya sastra terwujud berkat adanya niat penulisnya namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuah teks.
2. Harus dipertanyakan apa yang dicari dalam niat pengarang itu. Jika pengarang mampu menuangkan makna niatnya dalam karyanya, maka justru makna muatan itu sajalah yang harus dinilai tanpa perlu meneliti apakah pengarang memang berniat demikian.
3. Jika ukuran keberhasilan karya sastra adalah kesejajaran antara makna niatan pengarang dengan makna muatannya maka syarat-syarat subjektivitas pengarang sesungguhnya sudah dilepaskan.
4. Apabila makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi, maka kita boleh menggunakan data-data yang dapat menjelaskan pemakaian bahasanya. Akan tetapi jika penggunaan bahasanya sudah cukup jelas tidak perlulah berkonsultasi kepada pengarangnya.
5. Maka niat merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga mencari-cari makna niat pengarang sungguh-sungguh suatu jalan pikiran yang sesat.
Menurut Wimsatt dan beardley sebuah karya sastra sesungguhnya menjadi milik umum, ia telah terbentuk dalam pemakaian bahasa yang menjadi milik umum dan menjadi milik pengetahuan umum. Oleh karena itu pengetahuan sastra terpisah dari pngarang sejak ditulis dan pengarang tidak dapat menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya.
Keberatan terhadap teori ekspresivisme dikemukakan oleh banyak teoritisi sastra, antara lain Foucault (1992), Ricoeur (1987), Barthes (1981), Wellek & Warren (1993).
Wellek & Warren secara tegas menyebutkan bahwa biografi seorang pengarang sama sekali bukan masalah sastra sehingga tidak relevan dipergunakan sebagai bahan penelitian sastra secara ilmiah. Seorang pengarang tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap ide, perasaan, kebaikan ataupun kajahatan tokoh-tokoh ciptaanya. Ini berlaku bukan saja untuk tokoh drama dan novel tetapi juga untuk “ aku” dalam puisi lirik. Sekalipun ada karya sastra yang erat berkaitan dengan kehidupan pengarangnya, karya sastra tetap bukanlah bukti kehidupan pengarang. Karya sastra barangkali mewujudkan impian dan bahkan “topeng” yang menyembunyikan pribadi pengarang yang sebenarnya. Singkatan karya sastra bukanlah dokumen biografis.
Meskipun pendekatan biografis tidak membantu kita memahami karya sastra secara lebih baik, Wellek & Warren mengakui bahwa ada manfaatnya mempelajari biografi pengarang karena ada sosok pribadi dibalik karya-karya sastra. Manfaat biografi berguna antar lain :
1) Menjelaskan alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra;
2) Mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang;
3) Menjelaskan tradisi sastra yang berlaku didaerah pengarang.
Menurut Paul Ricoeur (1987:332-333) sebuah teks hanya akanmenjadi teks yang sesungguhnya bila pengarangnya telah meninggal. Dengan demikian relasi pembaca dan teks akan menjadi utuh dan lengkap tanpa ada kewajiban bertanya mengenai intensi pengaangnya.
Roland barthes (1981: 73-81) menegaskan bahwa teks sastra itu tidak bertuan; pembacalah tuan atas bacaannya. Pengarang bukan subjek dan buka predikat atas bacaannya, karena dunia yang menawarkan karya sastra adalah dunia yang multidimensional, dunia dimana seluruh varietas (tekstur) bergabung.
Foucault ( 1987: 124) mengatakan subjek pelaku seperti pengarang, ide, penguasa, panglima, gereja, dan negara tidak penting. Dibalik sebuah karya (sastra) orang tidak menemuka subjek (pengarang) melainkan ‘suasana’ suatu periode atau tipe masyarakat tertentu yang memiliki masalah-masalah tertentu pula. Yang penting bukanlah pengarang melainkan “ mekanisme-mekanisme kekuasaan dan strategi kekuasaan”. Kekuasaan, menurut Foucault bukan milik perseorangan atau lembaga tetentu melainkan merupakan strategi serba banyak relasi kuasa yang bekerja pada suatu tempat dan suat periode tertentu. Penyebutan nama pengarang dalam suatu studi sastra hanya bermaksud menempatkan kondisi-kondisi dan situsi-situasi yang berbentuk teori dan konsep dalam kaitan dan karyanya. Jadi fungsi penyebutan nama bermakna signifikatif ataupun indikatif melainkan fungsional, yakni memiliki fungsi menempatkan konteks dan spesifikasi sebuah wacana.
Dalam buku The International fallacy Wimsat dan Bearsdley yang mengemukakan tentang teori ekspresivisme yaitu:
• Terwujudnya suaatu karya sastra karena dengaan adanya niaat penulis namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuaah teks.
• Pengarang harus mampu menuangkan makna niat dalam karyanya dan makna muatan seharusnya dinilai tanpa perlu meniliti.
• Kesejajaran antara makna pengarang dan makna muatan serta syarat-syarat antara makna pengarang subjektif.
• Makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi atau biografis untuk menjelaskan pemakaian bahanya tetapi jika penggunnaan bahasanya jelas maka tidak perlu lagikonsultasi terhadap pengarang.
• Suatu hal yang bersifat abstrak akan mencari makna pengarang dengan sungguh-sungguh dalam suatu pikiran yang sesat.
Kritik Ekpresivis Kehadiran penelitian eskpresivisme memang banyak diragukan oleh ilmuwan sastra. Penelitian ini dianggap kurang memenuhi kode-kode ilmiah, karena sering dilanda subjektivitas pencipta ketika di diwawancarai. Kecuali itu pencipta sendiri seringkali telah lupa terhadap karya-karya yang dihasilkan. Hanya karya tertentu saja yang sering teringat pada diri pencita, misalnya saja karya yang pernah mendapat penghargaan. Sedangkan karya yang mengorbit lewat media masa, seringkali asalkan telah terbit dilupakan oleh penciptanya. Pencipta tidak lagi teringat seratus persen tentang penciptaan. Dari persoalan itu, sering seorang pencipta melakukan kebohongan tertentu. Pencipta lebih cerdik memanipulasi alasan penciptaan. Manipulasi itu sebenarnya dapat menjadi penelitian tersendiri. Disamping itu, ketika karya telah lolos dari tangan pencipta, biasanya pengarang “lepas tangan”, kurang bertanggung jawab atas pengaruh karya tersebut. Hal ini sering menyebabkan ungkapan spontan pencipta pada saat wawancara menjadi bias. Itulah sebabnya cukup beralasan kalau Wimsatt dan Beardsley ( Tahun 1997 : 26) menaruh keberatan atas kehadian ekspresivisme.
Pada akhir abad ke-15 sinar romantika dan ekspresionisme melai pudar Ilmu sastra mulai meniadakan unsur penulis sebagai faktor dalam memahami, mengapresiasi dan menilai karya sastra. Sastra berpedoman pada biografi pengarangnya menghadapi persoalan-persoalan mendasar yang cukup menyulitkan kebahasaannya sebagai teori sastra yang bisa dibertanggung jawabkan sacara ilmiah. Persoalan otnomi tidak lagi berkaitan dengan penulis tetapi mulai mendasar dan programatik dikemukakan oleh Wimsatt dan Beardsley dalam buku The Internasional Fallac(1987). Konsep itu mengacu pada pengertian bahwa adalah kekeliruan apabila dalam menganalisis dan menafsirkan sebuah teks sastra orang berpedoman pada maksud ( intensi) dan latar belakang pengarang. Pandangan Wimsatt dan beardsley secara singkat diungkapkan berikut ini.
Niat seorang pengarang dalam menulis karyanya tidak dapat dijadikan norma untuk menilai sukses tidaknya sebuah darya sastra. Niat beerkaitan dengan tujuan dan maksud pengarang, sikapnya dalam proses penciptaan, dan dorongannya menulis karya sastra. Aliran romantik mengharuskan kita merumuskan mekna niat pengarang sehingga mereka terpaku pada hal-hal inspirasi, otensitas, biografi, sejarah sastra dan kecendekiaan. Aliran romantik menegaskan bahwa niat itu memiliki pengaruh yang jelas terhadap karya sastra yang dihasilkannya, karena makna niat itulah yang mendorongnya menuliskan karyanya.
Wimsatt dan beardsley mengemukakan dalil-dalil berikut ini untuk membuktikan bahwa makna niat pengarang tidak berpengaruh terhadap keberadaan karya sastra.
1. Sekalipun sebuah karya sastra terwujud berkat adanya niat penulisnya namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuah teks.
2. Harus dipertanyakan apa yang dicari dalam niat pengarang itu. Jika pengarang mampu menuangkan makna niatnya dalam karyanya, maka justru makna muatan itu sajalah yang harus dinilai tanpa perlu meneliti apakah pengarang memang berniat demikian.
3. Jika ukuran keberhasilan karya sastra adalah kesejajaran antara makna niatan pengarang dengan makna muatannya maka syarat-syarat subjektivitas pengarang sesungguhnya sudah dilepaskan.
4. Apabila makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi, maka kita boleh menggunakan data-data yang dapat menjelaskan pemakaian bahasanya. Akan tetapi jika penggunaan bahasanya sudah cukup jelas tidak perlulah berkonsultasi kepada pengarangnya.
5. Maka niat merupakan suatu hal yang abstrak, sehingga mencari-cari makna niat pengarang sungguh-sungguh suatu jalan pikiran yang sesat.
Menurut Wimsatt dan beardley sebuah karya sastra sesungguhnya menjadi milik umum, ia telah terbentuk dalam pemakaian bahasa yang menjadi milik umum dan menjadi milik pengetahuan umum. Oleh karena itu pengetahuan sastra terpisah dari pngarang sejak ditulis dan pengarang tidak dapat menerangkan lagi niatnya atau mengontrol makna muatannya sesuai dengan makna niatannya.
Keberatan terhadap teori ekspresivisme dikemukakan oleh banyak teoritisi sastra, antara lain Foucault (1992), Ricoeur (1987), Barthes (1981), Wellek & Warren (1993).
Wellek & Warren secara tegas menyebutkan bahwa biografi seorang pengarang sama sekali bukan masalah sastra sehingga tidak relevan dipergunakan sebagai bahan penelitian sastra secara ilmiah. Seorang pengarang tidak bertanggung jawab secara pribadi terhadap ide, perasaan, kebaikan ataupun kajahatan tokoh-tokoh ciptaanya. Ini berlaku bukan saja untuk tokoh drama dan novel tetapi juga untuk “ aku” dalam puisi lirik. Sekalipun ada karya sastra yang erat berkaitan dengan kehidupan pengarangnya, karya sastra tetap bukanlah bukti kehidupan pengarang. Karya sastra barangkali mewujudkan impian dan bahkan “topeng” yang menyembunyikan pribadi pengarang yang sebenarnya. Singkatan karya sastra bukanlah dokumen biografis.
Meskipun pendekatan biografis tidak membantu kita memahami karya sastra secara lebih baik, Wellek & Warren mengakui bahwa ada manfaatnya mempelajari biografi pengarang karena ada sosok pribadi dibalik karya-karya sastra. Manfaat biografi berguna antar lain :
1) Menjelaskan alusi dan kata-kata yang dipakai dalam karya sastra;
2) Mempelajari masalah pertumbuhan kedewasaan, dan merosotnya kreativitas pengarang;
3) Menjelaskan tradisi sastra yang berlaku didaerah pengarang.
Menurut Paul Ricoeur (1987:332-333) sebuah teks hanya akanmenjadi teks yang sesungguhnya bila pengarangnya telah meninggal. Dengan demikian relasi pembaca dan teks akan menjadi utuh dan lengkap tanpa ada kewajiban bertanya mengenai intensi pengaangnya.
Roland barthes (1981: 73-81) menegaskan bahwa teks sastra itu tidak bertuan; pembacalah tuan atas bacaannya. Pengarang bukan subjek dan buka predikat atas bacaannya, karena dunia yang menawarkan karya sastra adalah dunia yang multidimensional, dunia dimana seluruh varietas (tekstur) bergabung.
Foucault ( 1987: 124) mengatakan subjek pelaku seperti pengarang, ide, penguasa, panglima, gereja, dan negara tidak penting. Dibalik sebuah karya (sastra) orang tidak menemuka subjek (pengarang) melainkan ‘suasana’ suatu periode atau tipe masyarakat tertentu yang memiliki masalah-masalah tertentu pula. Yang penting bukanlah pengarang melainkan “ mekanisme-mekanisme kekuasaan dan strategi kekuasaan”. Kekuasaan, menurut Foucault bukan milik perseorangan atau lembaga tetentu melainkan merupakan strategi serba banyak relasi kuasa yang bekerja pada suatu tempat dan suat periode tertentu. Penyebutan nama pengarang dalam suatu studi sastra hanya bermaksud menempatkan kondisi-kondisi dan situsi-situasi yang berbentuk teori dan konsep dalam kaitan dan karyanya. Jadi fungsi penyebutan nama bermakna signifikatif ataupun indikatif melainkan fungsional, yakni memiliki fungsi menempatkan konteks dan spesifikasi sebuah wacana.
Dalam buku The International fallacy Wimsat dan Bearsdley yang mengemukakan tentang teori ekspresivisme yaitu:
• Terwujudnya suaatu karya sastra karena dengaan adanya niaat penulis namun niat itu tidak dapat dijadikan norma untuk menilai arti sebuaah teks.
• Pengarang harus mampu menuangkan makna niat dalam karyanya dan makna muatan seharusnya dinilai tanpa perlu meniliti.
• Kesejajaran antara makna pengarang dan makna muatan serta syarat-syarat antara makna pengarang subjektif.
• Makna sebuah puisi sangat bersifat pribadi atau biografis untuk menjelaskan pemakaian bahanya tetapi jika penggunnaan bahasanya jelas maka tidak perlu lagikonsultasi terhadap pengarang.
• Suatu hal yang bersifat abstrak akan mencari makna pengarang dengan sungguh-sungguh dalam suatu pikiran yang sesat.
Kajian Prosa Fiksi
A. KAJIAN PROSA FIKSI
1. Pengertian Kajian
Kata ”kajian” berasal dari kata ”kaji” yang berarti (1) ”pelajaran”; (2) penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” menjadi berarti ”proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan (KBBI, 1999: 431).
2. Pengertian Prosa Fiksi
Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya, fiksi, biasa juga diisti-lahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan, atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1987:66). Kajian sastra bisa diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama sastra (Wiyatmi, 2006:19).
Karya fiksi dapat diartikan sebagai karya imajiner dan estetis. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disenbut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource) (dalam pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (cerham) / cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. (Abrams, 1981:61)
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksi dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog kontemplasi, realsi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun khayalan, fiksi merupakan perenungan. Selain itu fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan model kehidupan yang ideal bagi pengarang dan meneguhkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.
”Prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan- hubungan antarmanusia. Pengarang mengungkapkan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.
Sigmund Freud mengatakan: “Seseorang mau membaca / ingin membaca suatu karya fiksi (karya kreatif) bukan sekedar ingin tahu isi cerita yang dibacanya, melainkan juga sebagai pembebasan ketegangan dalam jiwa. Pembebnasan ini merupakan kenikmatan.“
Adapun yang dimaksud dengan daya imajinasi itu sendiri adalah gift, anugerah atau bakat. Maya Angelou seorang penyair dan novelis Amerika Serikat yang juga dikenal sebagai penari dan sutradara film pertama perempuan di Negeri Paman Sam mengatakan “Jangan menjadi pengarang kalau malas atau malu-malu berimajinasi”. Dia juga menegaskan, bagi seorang pengarang, berimajinasi merupakan suatu keharusan. Modal utama pengarang memang daya imajinasi atau kemampuan berimajinasi. Tanpa adanya daya imajinasipengarang akan menjadi mandul alias tidak mampu menghasilkan karya.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa fiksi adalah karya imajiner (khayalan) dan estetis yang menceritakan dinamika kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, dan dengan Tuhan. Fiksi merupakan buah dari kontemplasi yang dilakukan oleh manusia tentang kehidupan yang dijalaninya. Fiksi juga dapat diartikan sebagai rekaan (cerham)/cerita khayalan, yang tidak sepenuhnya berangkat dari kenyataan atau sejarah. Bahkan seringkali karya fiksi di luar nalar berpikir manusia itu sendiri.Penjelasan Lengkap dan Pengertian Fiksi dalam Bahasa Indonesia
Fiksi adalah suatu karya sastra yang mengungkap realitas kehidupan sehingga mampu mengembangkan daya imajinasi.
Ada 2 macam fiksi :
1. Fiksi imajinatif ---> berdasarkan imajinasi
2. Fiksi ilmiah ---> berdasarkan analisa ilmiah
*Sifat fiksi
- Segala sesuatu yang diungkapkan tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari, merupakan hasil rekaan.
- Semua tokoh, setting dan pokok persoalan adalah realitas imajinatif bukan obyektif.
- Kebenaran yang terjadi di dalam fiksi adalah bukan kebenaran obyektif melainkan kebenaran logis yaitu kebenaran yang ada dalam penalaran.
-Manusia2 yang hidup dalam kenyataan sehari-hari yang terlibat dalam seluruh aspek kehidupan penokohan fiksi mampu mempengaruhi & membentuk sifat dan sikap pembaca, pendengar, pemirsa.
-Kebenaran logis fiksi menyebabkan setiap fiksi selalu multi interpretable, artinya setiap pembaca, pendengar, pemirsa mempunyai tafsiran.
Nurgiyantoro (2000: 30-31) menyatakan bahwa hakikat pengkajian fiksi menyaran pada penelaahan, penyelidikan, pemahaman melalui analisis karya fiksi dengan kerja analisis yang dilakukan langsung dalam keadaan totalitasnya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengkajian prosa fiksi merupakan proses, cara, perbuatan mengkaji, menganalisis, menyelidiki, menelaah, dan memahami melalui analisis karya prosa fiksi (prosa cerita, prosa narasi, atau cerita berplot). Dengan demikian, kegiatan mahasiswa dalam mengkaji prosa fiksi meliputi kegiatan memahami teori, menganalisis, mengkaji, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam pengkajian prosa fiksi dan memenuhi kondisi syarat yang sesuai dengan pengkajian prosa fiksi. Hal ini harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat mengkaji prosa fiksi. Oleh karena itu, keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam mengkaji prosa fiksi adalah sebagai berikut.
1. Memahami kajian prosa fiksi, yaitu memahami dan mengidentifikasi karya prosa fiksi yang akan dikaji atau ditelaah.
2. Memilih teori sebagai pisau analisis kajian prosa fiksi.
3. Menyelesaikan pengkajian, penelaahan, yaitu melakukan pengkajian, penelaahan struktur prosa fiksi secara benar dengan teori kajian yang tepat.
4. Menafsirkan solusi, yaitu memperkirakan dan memeriksa kebenaran pengkajian atau penelaahan, masuk akalnya hasil penelaahan, dan apakah penelaahan yang dilakukan sudah memadai.
3. Model Analisis Prosa Fiksi
3.1 Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah.
Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44). Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
The core of Saussurre‟s contribution to semiotics is the project for a general theory of sign systems which he called semiology. The term semiologie was apparently coined by Saussure himself to designate the “not yet exiting” general science of sign (cf. Engler 1980). An alternative term suggested in a different context was signologie. Semiology is not to be confounded with semantics, the study of meaning in language. Saussurre gave the following out line of his project of a future semiology: a science that studies the life of sign within society is conceivable:[….] I shall call it semiology (from Greek semeion „sign‟). Semiology would show what constitutes signs, what laws govern them. Since the science does not yet exist, no one can say what it would be: but it has a right to existence, a place staked out in advance (Winfrid North, 1990:57).
Inti dari kontribusi semiotik Saussure adalah rancanan bagi teori umum tentang system tanda yang disebut semiologi. Istilah semiologi muncul diciptakan oleh Saussure sendiri untuk menandai belum adanya ilmu pengetahuan umum tentang tanda. Sebuah istilah alternatif yang diperkirakan dalam konteks yang berbeda adalah signologi. Semiologi tidaklah menjadi hal yang luar biasa daripada semantik, yang mempelajari arti dalam bahasa.
Saussure memberikan kerangka pemikirannya mengenai masa depan semiologi, yakni: sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan sebuah tanda dalam masyarakat yang dapat dipikirkan [……] saya akan menyebutnya sebagai semiologi (berasal dari bahasa Yunani semion „tanda‟) semiologi akan menunjukkan apakah yang mendasari tanda-tanda itu, apakah hukum/undang-undang yang mengaturnya. Semenjak ilmu pengetahuan belum eksis tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan apakah yang akan terjadi: tapi dia memiliki eksistensi yang bagus, sebuah tempat yang mengintai kemajuan (Winfrid North, 1990: 57). Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan.
Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Peirce, semiotic is the doctrine of the essential nature and fundamental varieties of possible semiosis the term semiosis is derived from a treatise of the Epicurean philoshoper Philodemus. Pierce explained that “semiosis mean the action of almost any kind of sign and my definition confers on anything that so act the title of sign (Winfrid North,1990:42) Menurut Peirce, semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-asas yang memungkinkan dalam semiosis.
Istilah semiosis berasal dari risalah Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan pengertian saya ini merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42)
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.
Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects of the word so that „all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man is a sign” (Winfrid North, 1990: 41) Menurut Peirce, pada intinya tanda-tanda dasar kognisi, pikiran, dan bahkan seseorang merupakan semiotic mereka…sebuah tanda misalnya. Pikiran akan mengacu kepada pikiran yang lain dan begitu juga objek pada sebuah kata, karena „semua yang digambarkan memiliki [sebuah] masa lalu‟. Peirce bahkan pergi jauh-jauhnya untuk menyimpulkan bahwa “kenyataan yang ada di dalam setiap pikiran itu merupakan sebuah tanda, diterima bersama dengan kenyataan bahwa hidup merupakan sebuah jalannya pikiran, membuktikan bahwa seseorang itu adalah tanda” (Winfrid North, 1990: 41) Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (diukan) konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119). ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18).
Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu.
Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Hal ini dijelaskan Pradopo (2005:120) sebagai berikut. ”Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. 'Ibu' adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan "kesemena-menaan" tersebut.
Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.” Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan strukturalisme adalah sebagai berikut. ”Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara semiotik dan strukturalisme.
a. Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian struktural.
b. Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus, 1988: 98).
Lebih lanjut Junus (1988: 98) menjelaskan bahwa pada (a) semiotik merupakan lanjutan dari strukturalisme. Pada (b) semiotik memerlukan untuk memungkinkan ia bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor‟, kepada strukturalisme. Tapi tidak demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat
Memisahkan diri dari strukturalisme, ia memerlukan strukturalisme . dan sekaligus, semiotik juga menolong memahami suatu teks secara strukturalisme.” Keterangan di atas menunjukkan bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik, karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Dalam perkembangan ilmu sastra, beberapa teoritisi sastra menganggap bahwa semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil menampilkan bentuk karya, serta pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi karya sastra yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah pemahaman karya. Itulah sebabnya dilakukan analisis semiotik. Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda. Penganalisis harus selalu bertanya apakah tokoh, latar, alur, dan pengaluran, dan penceritaan di dalamnya itu merupakan sebuah tanda/simbol atau bukan.
Setelah melihat unsur-unsur itu sebagai simbol, simbol-simbol tersebut dideskripsikan berdasarkan konteksnya. Kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya. Ketika melihat tanda-tanda tersebut, adakalanya tanda-tanda tersebut berkaitan dengan teks-teks yang lain. Oleh karena itu, untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan dengan teks yang dirujuknya tadi.
3.2 Sosiologi Sastra
Secara bahasa, Ratna Nyoman K (2003:1) menguraikan istilah sosiologi sastra sebagai berikut. ”Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan).
Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.”
Sosiologi sastra merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Wilayah sosiologi sastra cukup luas.
Sosiologi sastra diklasifikasikan menjadi tiga bagian: 1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra; 2) sosiologi karya sastra yang mengetengahkan permasalahan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok permasalahannya adalah apa yang tersifat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya; dan 3) sosiologi yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra” (Welek dan Weren, 1993: 111). Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt.
Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Hal ini dijelaskan Damono sebagai berikut: ”Ian Watt menjelaskan hubungan timbal balik sastrawan, sastra dan masyarakat sebagai berikut:
1. Konteks sosial pengarang yang berhubungan antara posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dengan masyarakat pembaca. Termasuk faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan selain mempengaruhi karya sastra.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang dapat dipahami untuk mengetahui sampai sejauh mana karya sastra dapat mencerminkan keadan masyarakat ketika karya sastra itu ditulis, sejauh mana gambaran pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat atau fakta sosial yang ingin disampaikan, dan sejauh mana karya sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, untuk mengetahui sampai berapa jauh karya sastra berfungsi sebagai perombak, sejauh mana karya sastra berhasil sebagai penghibur dan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial” (Damono, 2004:3).
Junus (1985: 84-86) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Sosiologi sastra berkaitan juga dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun 8 8
karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Dengan demikian, sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan menggunakan teori sosiologi sastra dapat dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana konteks sosial teks tersebut. Konteks sosial teks tersebut harus dikaitkan dengan konteks sosial dunia nyata/zamannya. Selain itu, dideskripsikan pula bagaimana nilai sosial/fungsi sosial karya dalam masyarakat. Artinya, penganalisis harus melihat bagaimana masyarakat memandang karya sastra itu.
3.3 Resepsi Sastra
Estetika resepsi meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Segers (1978: 35) meenjelaskan estetika resepsi secara ringkas bahwa estetika resepsi (esthetics of reception) dapat disebut sebagai ajaran yang menyelidiki teks sastra berdasarkan reaksi pembaca yang riil dan mungkin terhadap suatu teks sastra. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana ”pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif, yaitu bagaimana ia ”merealisasikan”-nya. Karena itu resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan (Junus, 1985:1).
Dalam resepsi sastra ada anggapan bahwa ada suatu arti/makna tertentu dalam karya sastra yang muncul pada suatu masa dan lokasi tertentu. Ini disebabkan oleh adanya suatu latar belakang pemikiran tertentu pada masa itu yang menjadi pedoman bagi orang yang memahaminya. Dengan begitu, suatu karya akan punya nilai lampau dan makna kini (past significance dan present meaning).
Adanya fenomena ini memungkinkan kita untuk menciptakan suatu suasana penerimaan tertentu berdasarkan ideoogi tertentu, suatu penerimaan model (Junus , 1985: 122-123). Luxemburg (1982 : 80) mengatakan bahwa penelitian mengenai resepsi sastra terbagi dua, yakni sejarah resepsi dan penelitian terhadap orang-orang sezaman. Sejarah resepsi meneliti bagaimana sebuah teks atau sekelompok teks sejak diterbitkannya, diterima, dan bagaimana reaksi para pembaca atau sekelompok pembaca. Pradopo (2003: 206) menyatakan bahwa yang dimaksud estetika resepsi atau esteika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra.
Dengan demikian, resepsi sastra merupakan proses pemaknaan karya sastra oleh pembaca sehingga dapat mereaksi atau menanggapi karya sastra itu. Dengan perkataan lain, pengertian resepsi ialah reaksi pembaca terhadap sebuah teks. Dalam hal ini peranan pembaca menjadi penting karena orientasi terhadap teks dan pembaca menjadi landasan utamanya. Kajian resepsi sastra yang dilakukan dalam mengkaji prosa fiksi di sini adalah bagaimana suatu teks direspons/diresepsi oleh seorang pengarang pada teks lainnya. Ini dikenal dengan intertekstual. Intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya.
Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacanya juga, dilakukan tanpa sama sekali berhubungan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Teeuw, 2003: 145). Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut (Nurgiyantoro, 1998: 15).
Langkah pertama dalam analisis resepsi sastra adalah melakukan analisis struktur kedua (atau beberapa) teks. Pertama struktur teks hipogram.
Kedua, struktur teks transformasi. Langkah berikutnya adalah melakukan perbandingan apa perbedaan dan persamaan teks hipogram dengan teks transformasi. Yang dilakukan adalah bukan hanya menghitung-hitung seberapa banyak perbedaan/persamaan tersebut tetapi menjelaskan mengapa terjadi perbedaan/persamaan.
Langkah terakhir adalah menafsirkan makna persamaan/perbedaan kedua teks tersebut. Dasar untuk melakukan hal ini adalah konteks teks yang bersangkutan. Dengan cara itu kita akan melihat perbedaan/persamaan itu sebagai sesuatu yang fungsional.
3.4 Feminisme Sastra
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5). Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5). menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki- laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki” (Djajanegara, 2000:4). Lebih lanjut Djajanegara (2000: 27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis dsebagai berikut.
a. KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
b. KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita). Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
c. KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d. KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
e. KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
f. KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
Sugihastuti (2005:15-16) mengemukakan bahwa dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukkanmasih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan pendeknya derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Ketiga, penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian yang berlimpah ruah ini.
Keempat, lebih dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata diresepsi dari karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra berperspektif feminis. Berdasarkan dasar pemikiran di atas, langkah mengkaji prosa fiksi berdasarkan feminis dalam penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan teks.
Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, ikon, maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan penekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki.
Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan. Setelah mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah karya, kita mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Misalnya, jika keudukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat tradisional dia akan dipandang menempati kedudukan yang inferior atau lebih rendah daripada kedudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh demikian akan memiliki ciri-ciri Victoria yang ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal.
Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Selanjutnya, kita mencari tahu tujuan hidupnya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis. Wanita demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Sebaliknya, perempuan yang bercita-cita untuk dengan berbagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir dan batin akan didukung oleh gerakan feminisme. Perempuan demikian akan mengangkat kedudukan dan harkatnya hingga menjadi setingkat dengan kedudukan dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyakarat.
Lebih lanjut, kita dapat mengetahui perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan penulis. Misalnya, penulis menggambarkan tokoh tersebut sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, gemar dan pandai mengatur rumah tangga, serta mau berusaha keras untuk membahagiakan suami.
Penulis dapat juga melukiskan tokoh wanita sebagai pribadi yang haus akan pendidikan atau pengetahuan, yang rajin berkarya di luar lingkungan rumah, terutama untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga bisa diakui masyarakat sebagai sosok yang memiliki jati diri sendiri tanpa dikaitkan dengan kedudukan suami. Kemudian kita perhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang bersangkutan. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakannya akan memberi banyak keterangan bagi kita tentang tokoh itu. Seandainya seorang perempuan berangan-angan untuk mendapat pendidikan yang memadai agar mampu menduduki suatu jabatan dan mampu membantu ekonomi keluarganya, maka tokoh tersebut telah mewujudkan salah satu tujuan yang diperjuangkan gerakan feminisme. Demikian pula dialog-dialog yang melibatkan tokoh itu akan banyak mengungkapkan watak dan jalan pikirannya. Langkah kedua adalah meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati. Cara-cara atau tahap-tahap yang kita tempuh tidak banyak berbeda dari apa yang telah kita laksanakan terhadap tokoh perempuan.
Meskipun tujuan utama kita adalah meneliti tokoh perempuan, kita tidak akan memperoleh gambaran lengkap tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya, khususnya tokoh laki-laki, sebagaimana layaknya dilakukan dalam kajian gender. Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji. Mungkin kita akan berprasangka bahwa jika penulisnya laki-laki, dengan sendirinya tokoh wanitanya ditampilkan sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Sebaliknya, apabila penulisnya perempuan, dia akan menghadirkan tokoh perempuan yang tegar, mandiri, serta penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian sebaiknya kita kesampingkan saja. Baik laki-laki maupun wanita, seorang penulis mungkin saja menampilkan perempuan mandiri atau perempuan tradisional. Yang perlu diperhatikan adalah nada atau suasana yang mereka hadirkan. Mereka mungkin saja menulis dengan kata-kata menyindir atau ironis, dengan nada komik atau memperolok-olok, dengan mengkritik atau mendukung, dan dengan nada optimistik atau pesimistik. Nada dan suasana cerita pada umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis dalam menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung para feminis.
Untuk mengetahui pandangan serta sikap penulis, sebaiknya penganalisis memperhatikan latar belakangnya. Misalnya tempat dan waktu penulisan sebuah karya banyak mempengaruhi pendirian dan sikap seorang penulis. Untuk memperoleh keterangan mengenai penulis, kita bisa membaca biografinya atau kritik tentang karya-karyanya.
3.5 Poskolonial
”Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49).
Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab, maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi, 2001: 44). ”Kesusastraan poskolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200). Pada tahapan yang paling mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang berkaitan dan menggugat hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek kolonialisme.
Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz (2003: 201) menjelaskan bahwa postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu merekamkan atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana poskolonial. Pernikiran-pemikiran Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan dimanfaatkan oleh sejumlah pemikir yang menggagas teori poskolonial.
Teori dan kritik poskolonial yang marak sejak tahun 1980-an di Amerika Serikat, lnggris, dan Australia pada awalnya dipelopori oleh Leopold Senghor, Dominique O'manononi, Aimme Cesaire, Frants Fannon, dan Albert Memmi, yang menyorot berbagai aspek dan dimensi pengalaman penjajahan. Bedanya, generasi yang mengembangkannya kemudian, misalnya Edward Said dan Hhomi Bhaba, sangat dipengaruhi oleh pemikiran poststrukturalis, terutama Derrida dan Foucault (Budianta, 2004:49). Sesungguhnya wacana poskolonial memperjuangkan politik pertentangan, namun, ada yang berpendapat bahwa hal ini tidak boleh disamakan dengan antikolonialisme seperti yang ditegaskan oleh Bussnett (Aziz, 2003: 200) yang melihat paskolonialisme berbeda dari pada anti kolonialisme karena wacana yang ini tidak terlepas dengan menerima hakikat kesan penjajahan terhadap yang dijajah, dengan kata lain, walaupun wacana poskolonial ataupun poskolonialisme memberi reaksi yang menolak hegemoni dan autoriti barat, namun kesan hubungan yang kompleks antara penjajah dengan yang dijajah telah memberi kesan pada pembentukan budaya poskolonial, dan seterusnya mempengaruhi pembentukan kesusasteraan poskolonial. 14 14
Beberapa topik yang dikembangkan oleh poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Pembicaraan mengenai topik-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak Derrida, yakni bahwa segala sesuatu bentuk identitas merupakan bangunan (atau anggitan) sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara biologis (Budianta, 2004:51). Objek penelitian poskolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya.
Walia (Ratna, 2008:90) mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008:90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Menurut Pamela Alen (2004:211), ada dua penanda postkolonial, yaitu:
a. Tempat dan Pemindahan
Tempat dan pemindahan adalah masalah umum dalam kajian sastra poskolonial. Pemindahan disebabkan oleh kebutuhan kolonial untuk ketertiban, proses hibridisasi sebagai suatu keadaan yang muncul akibat belenggu kolonialisme dan upaya untuk menemukan kembali jati dirinya, dan yang terakhir adalah globalisasi. Dalam proses didefinisikan kembali oleh kolonialisme, tak diragukan lagi bahwa ada individu yang mengalami pemindahan, pengucilan, dan marginalisasi. Pemerintah kolonial membutuhkan "Penempatan" karena ini dibebankan pada serangkaian dinamika yang sudah lebih dahulu ada, yang perlu membawakan pemindahan. Karena kekuatan hegemonik dari pemerintah kolonial dipertahankan mulai kontrol yang ketat dan tekanan untuk terus menerus menjaga segala sesuatu tetap pada tempatnya, penjajah harus berhati-hati terhadap kekacauan yang menuntut kedewasaan terus menerus. Ingin dilakukan dalam banyak cara, misalnya tekanan polisi, melarang semua gerakan populer atau dengan cara korupsi. mekanisme yang dipakai bersifat terus menerus dan teratur.
b. Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida melalui buku-bukunya, antara lain Of Grammatology, Yhriiting and Difference, Dissemination, dalam ilmu sastra mengacu pada model/metode analisis (atau model yang argument filosofis) yang dipakai dalam membaca berhagai macam teks sastra maupun nonsastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian dengan logikalretorika antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara emplisit tersembunyi dalam teks. Kajian dekonstruksi menunjukkan bagaimana kontradiksi-kontradiksi tersebut disamakan oleh teks. Poskolonial menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan imperealisme.
Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan, tindakan subversif penjajah dan penjajahan, masalah ras, etnisitas, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan konsep poskolonial tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
B. UNSUR-UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DRAMA
1. Unsur-Unsur Intrinsik Drama
Unsur-unsur intrinsik drama adalah unsur-unsur pembangunan struktur yang ada di dalam drama itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik drama menurut Akhmad Saliman (1996 : 23) ada 8 yakni : 1. Alur. 2. Amanat, 3. Bahasa, 4. Dialog, 5. Latar, 6. Petunjuk teknis, 7. Tema, 8. tokoh.
1. Alur
jalannya cerita dari awal (pengenalan) sampai akhir (penyelesaian). Alur cerita terjalin dari rangkaian ketiga unsur, yaitu dialog, petunjuk laku, dan latar/setting. Sebuah alur dapat dikelompokkan dalam beberapa tahapan, sebagai berikut.
1.1 Pengenalan
Pengenalan merupakan bagian permulaan pementasan drama, pengenalan para tokoh (terutama tokoh utama), latar pentas, dan pengungkapan masalah yang akan dihadapi penonton.
1.2 Pertikaian
Setelah tahap pengenalan, drama bergerak menuju pertikaian yaitu pelukisan pelaku yang mulai terlibat ke dalam masalah pokok.
1.3 Puncak,
Pada tahap ini pelaku mulai terlibat dalam masalah-masalah pokok dan keadaan dibina untuk menjadi lebih rumit lagi. Keadaan yang mulai rumit ini, berkembang hingga menjadi krisis. Pada tahap ini penonton dibuat berdebar, penasaran ingin mengetahui penyelesaiannya.
1.4 Penyelesaian
Pada tahap ini dilukiskan bagaimana sebuah drama berakhir dengan penyelesaian yang menggembirakan atau menyedihkan. Bahkan dapat pula diakhiri dengan hal yang bersifat samar sehingga mendorong penonton untuk mengira-ngira dan memikirkan sendiri akhir sebuah cerita.
2. Amanat
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 67) amant adalah segala sesuatu yang ingin disampaikan pengarang, yang ingin ditanakannya secara tidak langsung ke dalam benak para penonton dramanya.
Harimurti Kridalaksana (183) berpendapat amanat merupakan keseluruhan makna konsep, makna wacana, isi konsep, makna wacana, dan perasaan yang hendak disampaikan untuk dimengerti dan diterima orang lain yang digagas atau ditujunya.Seorang pengarang drama, sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat dalam dramanya. Amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap orang dapat saja saling berbeda pendapat dalam menafsirkan amanat yang disampaikan pengarang drama.
Amanat di dalam drama ada yang langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja disembunyikan secara tersirat oleh penulis naskah drama yang bersangkutan. Hanya pentonton yang profesional aja yang mampu menemukan amanat implisit tersebut.
3. Bahasa
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 68), bahasa yang digunakan dalam drama sengaja dipilih pengarang dengan titik berat fungsinya sebagai sarana komunikasi.
Setiap penulis drama mempunyai gaya sendiri dalam mengolah kosa kata sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Selain berkaitan dengan pemilihan kosa kata, bahasa juga berkaitan dengan pemilihan gaya bahasa (style).
Bahasa yang dipilih pengarang untuk kemudian dipakai dalam naskah drama tulisannya pada umumnya adalah bahasa yang mudah dimengerti (bersifat komunikatif), yakni ragam bahasa yang dipakai dalam kehidupan kesehatian. Bahasa yang berkaitan dengan situasi lingkungan, sosial budyaa, dan pendidikan.
Bahasa yang dipakai dipilih sedemikian rupa dengan tujuan untuk menghidupkan cerita drama, dan menghidupkan dialog-dialog yang terjadi di antara para tokoh ceritanya. Demi pertimbangan komunikatif ini seorang pengarang drama tidak jarang sengaja mengabaikan aturan aturan yang ada dalam tata bahasa baku.
4. Dialog
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 98) dialog adalah mimetik (tiruan) dari kehidupan keseharian. Dialog drama ada yang realistis komunikatif, tetapi ada juga yang tidak realistis (estetik, filosopis, dan simbolik). Diksi dialog disesuaikan dengan karekter tokoh cerita.
5. Latar
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 66), latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah drama. Latar tidak hanya merujuk kepada tempat, tetapi juga ruang, waktu, alat-alat, benda-benda, pakaian, sistem pekerjaan, dan sistem kehidupan yang berhubungan dengan tempat terjadinya peristiwa yang menjadi latar ceritanya.
6. Petunjuk laku
Petunjuk laku atau catatan pinggir berisi penjelasan kepada pembaca atau para pendukung pementasan mengenai keadaan, suasana, peristiwa, atau perbuatan, tokoh, dan unsur-unsur cerita lainnya. Petunjuk laku sangat diperlukan dalam naskah drama. Petunjuk laku berisi petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana, pentas, suara, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, dan sebagainya. Petunjuk laku ini biasanya ditulis dengan menggunakan huruf yang dicetak miring atau huruf besar semua. Di dalam dialog, petunjuk laku ditulis dengan cara diberi tanda kurung di depan dan di belakang kata atau kalimat yang menjadi petunjuk laku).
7. Tema
Tema menurut WJS Poerwadarminta (185 : 1040) tema adalah pokok pikiran. Mursal Esten (1990) berpendapat tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran atau sesuatu yang menjadi persoalan.
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung di dalam drama. Tema dikembangkan melalui alur dramatik melalui dialog tokoh-tokohnya. Tema drama misalnya kehidupan, persahabatan, kesedihan, dan kemiskinan.
8. Tokoh
Tokoh dalam drama disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai pemegang peran watak tokoh. Itulah sebebanya istilah tokoh juga disebut karakter atau watak. Istilah penokohan juga sering disamakan dengan istilah perwatakan atau karakterisasi (tidak sama dengan karakteristik) (Saliman : 1996 : 32).
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 25 : 27) berdasarkan peranannya di dalam alur cerita tokoh dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yakni : 1. Antagonis, tokoh utama berprilaku jahat, 2. Protagonis, tokoh utama berprilaku baik, 3. Tritagonis, tokoh yang berperanan sebagai tokoh pembantu. Selain itu, masih menurut Akhmad Saliman (1996 : 27) berdasarkan fungsinya di dalam alur cerita tokoh dapat diklasifikasi menjadi 3 macam juga, yakni : 1. Sentral, tokoh yang berfungsi sebagai penentu gerakan alur cerita, 2. Utama, tokoh yang berfungsi sebagai pendukung tokoh antagonis atau protagonis, 3. Tokoh pembantu, tokoh yang berfungsi sebagai pelengkap penderita dalam alur cerita.
Masih berkaitan dengan tokoh ini, ada istilah yang lajim digunakan yakni penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk kepada proses penampilan tokoh yang berfungsi sebagai pembawa peran watak tokoh cerita dalam drama. Sedangkan teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan atau penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam drama.
Teknik penokohan dilakukan dalam rangka menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Watak tokoh cerita dapat diungkapkan melalui salah satu dari 5 teknik di bawah ini.
1. Apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dikehendaki tentang dirinya atau tentang diri orang lain.
2. Lakuan, tindakan,
3. Cakapan, ucapan, ujaran,
4. Kehendak, perasaan, pikiran,
5. Penampilan fisik.
Tokoh watak atau karakter dalam drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga berfungsi sebagai pembentuk, dan pencipta alur cerita. Tokoh demikian disebut tokoh sentra (Saliman, 1996 : 33).
Penokohan, gerak, dan cakapan adalah tiga komponen utama yang menjadi dasar terjadinya konflik (tikaian) dalam drama. Pada hakekatnya, konflik (tikaian) merupakan unsur instrinsik yang harus ada di dalam sebuah drama.
Tokoh cerita dalam drama dapat diwujudkan dalam bentuk 3 dimensi, meliputi . 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti mentalitas, temperamen, cipta, rasa, karsa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan, aktifitas sosial, aksi sosial, hobby pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul sosial.
2. Unsur Ekstrinsik Drama
Menurut Tjahyono (1985), unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar struktur karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. Misalnya faktor-faktor sosial politik saat karya tersebut diciptakan, faktor ekonomi, faktor latar belakang kehidupan pengarang, dan sebagainya. Mengutip pernyataan Wellek dan Warren, Tjahyono menjelaskan pengkajian terhadap unsur ekstrinsik karya sastra mencakup empat hal. Salah satunya adalah mengkaji hubungan sastra dengan aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Bahwa situasi sosial politik ataupun realita budaya tertentu akan sangat berpengaruh terhadap karya sastra tersebut.
Unsur yang membangun karya sastra berdasarkan pendekatan struktural meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pembahasan kali ini akan dikhususkan pada unsur ekstrinsik karya sastra, khususnya prosa.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang mempengaruhi bagun sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), bagian yang termasuk unsur ekstrinsik tersebut adalah sebagai berikut.
Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip psikologis dalam karya.
Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
Latar belakang kehidupan pengarang sebagai bagian dari unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi karya sastra. Misalnya, pengarang yang berlatar belakang budaya daerah tertentu, secara disadari atau tidak, akan memasukkan unsur budaya tersebut ke dalam karya sastra.
Menurut Malinowski, yang termasuk unsur budaya adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Unsur-usnru tersebut menjadi pendukung karya sastra. Sebagai contoh, novel Siti Nurbaya sangat kental dengan budaya Minangkabau. Hal ini sesuai dengan latar belakang pengarangnya, Marah Rusli, yang berasal dari daerah Minangkabau. Begitu pula novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang dilatarbelakangi budaya Dayak Kalimantan karena pengarangnya berasal dari daerah Kalimantan.
Begitu pula dalam Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita akan menemukan unsur intrinsik berupa nilai-nilai budaya. Terutama, yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, dan kesenian. Mata pencaharian yang ditekuni para tokoh dalam novel tersebut sebagai pencari damar dan rotan di hutan. Alat yang digunakan masih tradisional.
Selain budaya, latar belakang keagamaan atau religiusitas pengarang juga dapat memengaruhi karya sastra. Misalnya, Achdiat Kartamihardja dalam novel Atheis dan Manifesto Khalifatullah, Danarto dalam novel Kubah, atau Habiburahman El-Shirazi dalam Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.
Latar belakang kehidupan pengarang juga menjadi penting dalam memengaruhi karya sastra. Sastrawan yang hidup di perdesaan akan selalu menggambarkan kehidupan masyarakat desa dengan segala permasalahannya. Misalnya, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dengan demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur ekatrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapatmemahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.
1. Pengertian Kajian
Kata ”kajian” berasal dari kata ”kaji” yang berarti (1) ”pelajaran”; (2) penyilidikan (tentang sesuatu). Bermula dari pengertian kata dasar yang demikian, kata ”kajian” menjadi berarti ”proses, cara, perbuatan mengkaji; penyelidikan (pelajaran yang mendalam); penelaahan (KBBI, 1999: 431).
2. Pengertian Prosa Fiksi
Istilah prosa fiksi atau cukup disebut karya, fiksi, biasa juga diisti-lahkan dengan prosa cerita, prosa narasi, narasi, atau cerita berplot. Pengertian prosa fiksi tersebut adalah kisahan, atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar serta tahapan dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin suatu cerita (Aminuddin, 1987:66). Kajian sastra bisa diartikan sebagai proses atau perbuatan mengkaji, menyelidiki, dan menelaah objek material yang bernama sastra (Wiyatmi, 2006:19).
Karya fiksi dapat diartikan sebagai karya imajiner dan estetis. Prosa dalam pengertian kesusastraan juga disenbut fiksi (fiction), teks naratif (narrative text) atau wacana naratif (narrative discource) (dalam pendekatan struktural dan semiotik). Istilah fiksi dalam pengertian ini berarti cerita rekaan (cerham) / cerita khayalan. Hal itu disebabkan fiksi merupakan karya naratif yang isinya tidak mengarah pada kebenaran sejarah. (Abrams, 1981:61)
Fiksi menceritakan berbagai masalah kehidupan manusia dalam interaksinya dengan diri sendiri, serta interaksi dengan Tuhan. Fiksi merupakan hasil dialog kontemplasi, realsi pengarang terhadap lingkungan dan kehidupan. Walaupun khayalan, fiksi merupakan perenungan. Selain itu fiksi merupakan karya imajinatif yang dilandasi kesadaran dan tanggung jawab dari segi kreativitas sebagai karya seni. Fiksi menawarkan model kehidupan yang ideal bagi pengarang dan meneguhkan sosoknya sebagai karya seni yang berunsur estetik dominan.
”Prosa naratif yang bersifat imajinatif, namun biasanya masuk akal dan mengandung kebenaran yang mendramatisasikan hubungan- hubungan antarmanusia. Pengarang mengungkapkan hal itu berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan.
Sigmund Freud mengatakan: “Seseorang mau membaca / ingin membaca suatu karya fiksi (karya kreatif) bukan sekedar ingin tahu isi cerita yang dibacanya, melainkan juga sebagai pembebasan ketegangan dalam jiwa. Pembebnasan ini merupakan kenikmatan.“
Adapun yang dimaksud dengan daya imajinasi itu sendiri adalah gift, anugerah atau bakat. Maya Angelou seorang penyair dan novelis Amerika Serikat yang juga dikenal sebagai penari dan sutradara film pertama perempuan di Negeri Paman Sam mengatakan “Jangan menjadi pengarang kalau malas atau malu-malu berimajinasi”. Dia juga menegaskan, bagi seorang pengarang, berimajinasi merupakan suatu keharusan. Modal utama pengarang memang daya imajinasi atau kemampuan berimajinasi. Tanpa adanya daya imajinasipengarang akan menjadi mandul alias tidak mampu menghasilkan karya.
Berdasarkan hal di atas dapat disimpulkan bahwa fiksi adalah karya imajiner (khayalan) dan estetis yang menceritakan dinamika kehidupan manusia dalam berinteraksi dengan diri sendiri, keluarga, lingkungan sekitar, dan dengan Tuhan. Fiksi merupakan buah dari kontemplasi yang dilakukan oleh manusia tentang kehidupan yang dijalaninya. Fiksi juga dapat diartikan sebagai rekaan (cerham)/cerita khayalan, yang tidak sepenuhnya berangkat dari kenyataan atau sejarah. Bahkan seringkali karya fiksi di luar nalar berpikir manusia itu sendiri.Penjelasan Lengkap dan Pengertian Fiksi dalam Bahasa Indonesia
Fiksi adalah suatu karya sastra yang mengungkap realitas kehidupan sehingga mampu mengembangkan daya imajinasi.
Ada 2 macam fiksi :
1. Fiksi imajinatif ---> berdasarkan imajinasi
2. Fiksi ilmiah ---> berdasarkan analisa ilmiah
*Sifat fiksi
- Segala sesuatu yang diungkapkan tidak dapat dibuktikan kebenarannya dalam kehidupan sehari-hari, merupakan hasil rekaan.
- Semua tokoh, setting dan pokok persoalan adalah realitas imajinatif bukan obyektif.
- Kebenaran yang terjadi di dalam fiksi adalah bukan kebenaran obyektif melainkan kebenaran logis yaitu kebenaran yang ada dalam penalaran.
-Manusia2 yang hidup dalam kenyataan sehari-hari yang terlibat dalam seluruh aspek kehidupan penokohan fiksi mampu mempengaruhi & membentuk sifat dan sikap pembaca, pendengar, pemirsa.
-Kebenaran logis fiksi menyebabkan setiap fiksi selalu multi interpretable, artinya setiap pembaca, pendengar, pemirsa mempunyai tafsiran.
Nurgiyantoro (2000: 30-31) menyatakan bahwa hakikat pengkajian fiksi menyaran pada penelaahan, penyelidikan, pemahaman melalui analisis karya fiksi dengan kerja analisis yang dilakukan langsung dalam keadaan totalitasnya. Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pengkajian prosa fiksi merupakan proses, cara, perbuatan mengkaji, menganalisis, menyelidiki, menelaah, dan memahami melalui analisis karya prosa fiksi (prosa cerita, prosa narasi, atau cerita berplot). Dengan demikian, kegiatan mahasiswa dalam mengkaji prosa fiksi meliputi kegiatan memahami teori, menganalisis, mengkaji, menentukan, atau mendapatkan nilai atau objek tertentu yang tidak diketahui dalam pengkajian prosa fiksi dan memenuhi kondisi syarat yang sesuai dengan pengkajian prosa fiksi. Hal ini harus dipahami serta dikenali dengan baik pada saat mengkaji prosa fiksi. Oleh karena itu, keterampilan yang harus dimiliki mahasiswa dalam mengkaji prosa fiksi adalah sebagai berikut.
1. Memahami kajian prosa fiksi, yaitu memahami dan mengidentifikasi karya prosa fiksi yang akan dikaji atau ditelaah.
2. Memilih teori sebagai pisau analisis kajian prosa fiksi.
3. Menyelesaikan pengkajian, penelaahan, yaitu melakukan pengkajian, penelaahan struktur prosa fiksi secara benar dengan teori kajian yang tepat.
4. Menafsirkan solusi, yaitu memperkirakan dan memeriksa kebenaran pengkajian atau penelaahan, masuk akalnya hasil penelaahan, dan apakah penelaahan yang dilakukan sudah memadai.
3. Model Analisis Prosa Fiksi
3.1 Semiotik
Semiotik berasal dari bahasa Yunani, yaitu semeion yang berarti tanda. Semiotik memiliki dua tokoh, yakni Ferdinand de Saussure dan Charles Sander Peirce. Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika dalam bidang yang berbeda secara terpisah.
Saussure di Eropa dan Peirce di Amerika Serikat. Latar belakang keilmuan Saussure adalah linguistik, sedangkan Peirce dikenal sebagai ahli filsafat. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hal ini sesuai dengan pernyataan berikut. Adapun semiotik itu (kadang-kadang juga dipakai istilah semiologi) ialah ilmu yang secara sistematik mempelajari tanda-tanda dan lambang-lambang (semeion, bahasa Yunani = tanda), sistem-sistem lambang dan proses-proses perlambangan (luxemburg, 1984:44). Tokoh yang dianggap pendiri semiotik adalah dua orang yang hidup sezaman, yang bekerja dalam bidang yang terpisah dan dalam lapangan yang tidak sama (tidak saling mempengaruhi), yang seorang ahli linguistik yaitu Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan seorang ahli filsafat yaitu Charles Sander Peirce (1839-1914). Saussure menyebut ilmu semiotik dengan nama semiologi, sedangkan Pierce menyebutnya semiotik (semiotics). Kemudian hal itu sering dipergunakan berganti-ganti dengan pengertian yang sama. Di Perancis dipergunakan nama semiologi untuk ilmu itu, sedang di Amerika lebih banyak dipakai nama semiotik (Pradopo, 2005:119).
The core of Saussurre‟s contribution to semiotics is the project for a general theory of sign systems which he called semiology. The term semiologie was apparently coined by Saussure himself to designate the “not yet exiting” general science of sign (cf. Engler 1980). An alternative term suggested in a different context was signologie. Semiology is not to be confounded with semantics, the study of meaning in language. Saussurre gave the following out line of his project of a future semiology: a science that studies the life of sign within society is conceivable:[….] I shall call it semiology (from Greek semeion „sign‟). Semiology would show what constitutes signs, what laws govern them. Since the science does not yet exist, no one can say what it would be: but it has a right to existence, a place staked out in advance (Winfrid North, 1990:57).
Inti dari kontribusi semiotik Saussure adalah rancanan bagi teori umum tentang system tanda yang disebut semiologi. Istilah semiologi muncul diciptakan oleh Saussure sendiri untuk menandai belum adanya ilmu pengetahuan umum tentang tanda. Sebuah istilah alternatif yang diperkirakan dalam konteks yang berbeda adalah signologi. Semiologi tidaklah menjadi hal yang luar biasa daripada semantik, yang mempelajari arti dalam bahasa.
Saussure memberikan kerangka pemikirannya mengenai masa depan semiologi, yakni: sebuah ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang kehidupan sebuah tanda dalam masyarakat yang dapat dipikirkan [……] saya akan menyebutnya sebagai semiologi (berasal dari bahasa Yunani semion „tanda‟) semiologi akan menunjukkan apakah yang mendasari tanda-tanda itu, apakah hukum/undang-undang yang mengaturnya. Semenjak ilmu pengetahuan belum eksis tidak ada seorang pun yang dapat mengatakan apakah yang akan terjadi: tapi dia memiliki eksistensi yang bagus, sebuah tempat yang mengintai kemajuan (Winfrid North, 1990: 57). Menurut Saussure, tanda sebagai kesatuan dari dua bidang yang tidak dapat dipisahkan, seperti halnya selembar kertas. Di mana ada tanda di sana ada sistem. Artinya, sebuah tanda (berwujud kata atau gambar) mempunyai dua aspek yang ditangkap oleh indra kita yang disebut dengan signifier, bidang penanda atau bentuk dan aspek lainnya yang disebut signified, bidang petanda atau konsep atau makna. Aspek kedua terkandung di dalam aspek pertama. Jadi petanda merupakan konsep atau apa yang dipresentasikan oleh aspek pertama. Lebih lanjut dikatakannya bahwa penanda terletak pada tingkatan ungkapan (level of expression) dan mempunyai wujud atau merupakan bagian fisik seperti bunyi, huruf, kata, gambar, warna, obyek dan sebagainya. Petanda terletak pada level of content (tingkatan isi atau gagasan) dari apa yang diungkapkan melalui tingkatan ungkapan.
Hubungan antara kedua unsur melahirkan makna. Peirce, semiotic is the doctrine of the essential nature and fundamental varieties of possible semiosis the term semiosis is derived from a treatise of the Epicurean philoshoper Philodemus. Pierce explained that “semiosis mean the action of almost any kind of sign and my definition confers on anything that so act the title of sign (Winfrid North,1990:42) Menurut Peirce, semiotik adalah pembelajaran mengenai sifat-sifat dasar dan variasi asas-asas yang memungkinkan dalam semiosis.
Istilah semiosis berasal dari risalah Epicurean filosofis Philodemus. Pierce menjelaskan bahwa semiosis mengandung makna perbuatan yang hampir terdapat dalam berbagai macam tanda dan pengertian saya ini merujuk pada sesuatu perbuatan yang berlabel tanda (Winfrid North, 1990:42)
Menurut Pierce, tanda (representamen) ialah sesuatu yang dapat mewakili sesuatu yang lain dalam batas-batas tertentu. Tanda akan selalu mengacu ke sesuatu yang lain, oleh Pierce disebut objek (denotatum). Mengacu berarti mewakili atau menggantikan.
Tanda baru dapat berfungsi bila diinterpretasikan dalam benak penerima tanda melalui interpretant. Jadi interpretant ialah pemahaman makna yang muncul dalam diri penerima tanda. Artinya, tanda baru dapat berfungsi sebagai tanda bila dapat ditangkap dan pemahaman terjadi berkat ground, yaitu pengetahuan tentang sistem tanda dalam suatu masyarakat. Peirce: signs the axiom that cognition, thought, and even man are semiotic in their essence.. like a sign, a thought refers to other thoughts and objects of the word so that „all which is reflected upon has [a] past”. Peirce even went so far as to conclude that “the fact that every thought is a sign, taken in conjunction with the fact that life is a train of thought, proves that man is a sign” (Winfrid North, 1990: 41) Menurut Peirce, pada intinya tanda-tanda dasar kognisi, pikiran, dan bahkan seseorang merupakan semiotic mereka…sebuah tanda misalnya. Pikiran akan mengacu kepada pikiran yang lain dan begitu juga objek pada sebuah kata, karena „semua yang digambarkan memiliki [sebuah] masa lalu‟. Peirce bahkan pergi jauh-jauhnya untuk menyimpulkan bahwa “kenyataan yang ada di dalam setiap pikiran itu merupakan sebuah tanda, diterima bersama dengan kenyataan bahwa hidup merupakan sebuah jalannya pikiran, membuktikan bahwa seseorang itu adalah tanda” (Winfrid North, 1990: 41) Semiotik (semiotika) adalah ilmu tentang tanda-tanda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Dalam kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (diukan) konvensi- konvensi tambahan dan meneliti ciri-ciri (sifat-sifat) wacana yang mempunyai makna (Pradopo, 2005:119). ”Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsinya tanda, dan produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain ”(Zoest, 1993:18).
Dalam pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda. Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa, struktur yang ditemukan dalam sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut tanda. Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkai bunga, rambut uban, sikap diam membisu, gagap, berbicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk, bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan, semuanya itu dianggap sebagai tanda.
Tanda dalam hubungan dengan acuannya dibedakan menjadi tanda yang dikenal dengan ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang antara tanda dengan acuannya ada hubungan kemiripan dan biasa disebut metafora. Contoh ikon adalah potret. Bila ada hubungan kedekatan eksistensi, tanda demikian disebut indeks. Contoh indeks adalah tanda panah petunjuk arah bahwa di sekitar tempat itu ada bangunan tertentu.
Simbol adalah tanda yang diakui keberadaannya berdasarkan hukum konvensi. Contoh simbol adalah bahasa tulisan. Ikon, indeks, simbol merupakan perangkat hubungan antara dasar (bentuk), objek (referent) dan konsep (interpretan atau reference). Bentuk biasanya menimbulkan persepsi dan setelah dihubungkan dengan objek akan menimbulkan interpretan. Hal ini dijelaskan Pradopo (2005:120) sebagai berikut. ”Tanda itu tidak hanya satu macam saja, tetapi ada beberapa berdasarkan hubungan antara penanda dan petandanya. Jenis-jenis tanda yang utama ialah ikon, indeks, dan simbol. Ikon adalah tanda yang menunjukkan adanya hubungan yang bersifat alamiah antara penanda dan petandanya. Hubungan itu adalah hubungan persamaan, misalnya gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda) sebagai artinya. Potret menandai orang yang dipotret, gambar pohon menandai pohon.
Indeks adalah tanda yang menunjukkan hubungan kausal (sebab-akibat) antara penanda dan petandanya, misalnya asap menandai api, alat penanda angin menunjukkan arah angin, dan sebagainya. Simbol adalah tanda yang menunjukkan bahwa tidak ada hubungan alamiah antara penanda dengan petandanya, hubungannya bersifat arbitrer (semau-maunya). Arti tanda itu ditentukan oleh konvensi. 'Ibu' adalah simbol, artinya ditentukan oleh konvensi masyarakat bahasa (Indonesia). Orang Inggris menyebutnya mother, Perancis menyebutnya la mere, dsb. Adanya bermacam-macam tanda untuk satu arti itu menunjukkan "kesemena-menaan" tersebut.
Dalam bahasa, tanda yang paling banyak digunakan adalah simbol.” Selanjutnya dikatakan Pradopo (2005) bahwa dalam penelitian sastra dengan pendekatan semiotik, tanda yang berupa indekslah yang paling banyak dicari (diburu), yaitu berupa tanda-tanda yang menunjukkan hubungan sebab-akibat (dalam pengertian luasnya). Semiotik merupakan lanjutan dari penelitian strukturalisme. Hubungan antara semiotik dan strukturalisme adalah sebagai berikut. ”Keterangan ini akan menjelaskan bagaimana sebenarnya hubungan antara semiotik dan strukturalisme.
a. Semiotik digunakan untuk memberikan makna kepada tanda-tanda sesudah suatu penelitian struktural.
b. Semiotik hanya dapat dilaksanakan melalui penelitian strukturalisme yang memungkinkan kita menemui tanda-tanda yang dapat memberi makna (Junus, 1988: 98).
Lebih lanjut Junus (1988: 98) menjelaskan bahwa pada (a) semiotik merupakan lanjutan dari strukturalisme. Pada (b) semiotik memerlukan untuk memungkinkan ia bekerja. Pada (a), semiotik seakan apendix ’ekor‟, kepada strukturalisme. Tapi tidak demikian halnya pada (b). Untuk menemukan tanda, sesuai dengan pengertian sebagai ilmu mengenai tanda. Semiotik tidak dapat
Memisahkan diri dari strukturalisme, ia memerlukan strukturalisme . dan sekaligus, semiotik juga menolong memahami suatu teks secara strukturalisme.” Keterangan di atas menunjukkan bahwa strukturalisme tidak dapat dipisahkan dengan semiotik, karena sastra itu merupakan struktur tanda-tanda yang bermakna. Dalam perkembangan ilmu sastra, beberapa teoritisi sastra menganggap bahwa semiotik dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk memperkuat sebuah analisis karya sastra setelah sebelumnya dilakukan terlebih dahulu analisis secara struktural. Seperti dikemukakan oleh Zaimar (1990 : 24) bahwa analisis struktural akan berhasil menampilkan bentuk karya, serta pelanggaran-pelanggaran terhadap konvensi karya sastra yang terdapat di dalamnya, namun analisis struktural tidak dapat memecahkan masalah pemahaman karya. Itulah sebabnya dilakukan analisis semiotik. Berdasarkan uraian di atas, maka analisis semiotik prosa fiksi yang harus dilakukan adalah melihat semua struktur sebagai tanda. Penganalisis harus selalu bertanya apakah tokoh, latar, alur, dan pengaluran, dan penceritaan di dalamnya itu merupakan sebuah tanda/simbol atau bukan.
Setelah melihat unsur-unsur itu sebagai simbol, simbol-simbol tersebut dideskripsikan berdasarkan konteksnya. Kemudian dilakukan klasifikasi berdasarkan deskripsi tadi dan ditafsirkan maknanya. Ketika melihat tanda-tanda tersebut, adakalanya tanda-tanda tersebut berkaitan dengan teks-teks yang lain. Oleh karena itu, untuk memahami makna teks tersebut harus selalu dikaitkan dengan teks yang dirujuknya tadi.
3.2 Sosiologi Sastra
Secara bahasa, Ratna Nyoman K (2003:1) menguraikan istilah sosiologi sastra sebagai berikut. ”Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (socius berarti bersama-sama, bersatu, kawan, teman) dan logi (logos berarti sabda, perkataan, perumpamaan).
Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/socius berarti masyarakat, logi/logos berarti ilmu. Jadi, sosiologi berarti ilmu mengenai asal-usul dan pertumbuhan (evolusi) masyarakat, ilmu pengetahuan yang mempelajari keseluruhan jaringan hubungan antar manusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional, dan empiris. Sastra dari akar kata sas (Sansekerta) berarti mengarahkan, mengajar, memberi petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi, sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik.”
Sosiologi sastra merupakan ilmu yang dapat digunakan untuk menganalisis karya sastra dengan mempertimbangkan aspek-aspek kemasyarakatannya. Paradigma sosiologi sastra berakar dari latar belakang historis dua gejala, yaitu masyarakat dan sastra: karya sastra ada dalam masyarakat, dengan kata lain, tidak ada karya sastra tanpa masyarakat. Sosiologi sastra bertolak dari orientasi kepada semesta, namun bisa juga bertolak dari orientasi kepada pengarang dan pembaca. Wilayah sosiologi sastra cukup luas.
Sosiologi sastra diklasifikasikan menjadi tiga bagian: 1) sosiologi pengarang yang mempermasalahkan status sosial, ideologi sosial, dan yang menyangkut pengarang sebagai penghasil sastra; 2) sosiologi karya sastra yang mengetengahkan permasalahan karya sastra itu sendiri, yang menjadi pokok permasalahannya adalah apa yang tersifat dalam karya sastra dan apa yang menjadi tujuannya; dan 3) sosiologi yang mempermasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya sastra” (Welek dan Weren, 1993: 111). Klasifikasi tersebut tidak jauh berbeda dengan bagan yang dibuat oleh Ian Watt.
Telaah suatu karya sastra menurut Ian Watt akan mencakup tiga hal, yakni konteks sosial pengarang, sastra sebagai cermin masyarakat, dan fungsi sosial sastra. Hal ini dijelaskan Damono sebagai berikut: ”Ian Watt menjelaskan hubungan timbal balik sastrawan, sastra dan masyarakat sebagai berikut:
1. Konteks sosial pengarang yang berhubungan antara posisi sosial sastrawan dalam masyarakat dengan masyarakat pembaca. Termasuk faktor-faktor sosial yang bisa mempengaruhi si pengarang sebagai perseorangan selain mempengaruhi karya sastra.
2. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang dapat dipahami untuk mengetahui sampai sejauh mana karya sastra dapat mencerminkan keadan masyarakat ketika karya sastra itu ditulis, sejauh mana gambaran pribadi pengarang mempengaruhi gambaran masyarakat atau fakta sosial yang ingin disampaikan, dan sejauh mana karya sastra yang digunakan pengarang dapat dianggap mewakili masyarakat.
3. Fungsi sosial sastra, untuk mengetahui sampai berapa jauh karya sastra berfungsi sebagai perombak, sejauh mana karya sastra berhasil sebagai penghibur dan sejauh mana nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial” (Damono, 2004:3).
Junus (1985: 84-86) mengemukakan, bahwa yang menjadi pembicaraan dalam telaah sosiologi sastra adalah karya sastra dilihat sebagai dokumen sosial budaya. Ia juga menyangkut penelitian mengenai penghasilan dan pemasaran karya sastra. Termasuk pula penelitian tentang penerimaan masyarakat terhadap sebuah karya sastra seorang penulis tertentu dan apa sebabnya. Sosiologi sastra berkaitan juga dengan pengaruh sosial budaya terhadap penciptaan karya sastra, misalnya pendekatan Taine yang berhubungan dengan bangsa, dan pendekatan Marxis yang berhubungan dengan pertentangan kelas. Tak boleh diabaikan juga dalam kaitan ini pendekatan strukturalisme genetik dari Goldman dan pendekatan Devignaud yang melihat mekanisme universal dari seni, termasuk sastra. Sastra bisa dilihat sebagai dokumen sosial budaya yang mencatat kenyataan sosio-budaya suatu masyarakat pada suatu masa tertentu. Pendekatan ini bertolak dari anggapan bahwa karya sastra tidak lahir dari kekosongan budaya. Bagaimanapun 8 8
karya sastra itu mencerminkan masyarakatnya dan secara tidak terhindarkan dipersiapkan oleh keadaan masyarakat dan kekuatan-kekuatan pada zamannya. Dengan demikian, sosiologi sastra menaruh perhatian pada aspek dokumenter sastra, dengan landasan suatu pandangan bahwa sastra merupakan gambaran atau potret fenomena sosial. Pada hakikatnya, fenomena sosial itu bersifat konkret, terjadi di sekeliling kita sehari-hari, bisa diobservasi, difoto, dan didokumentasikan. Oleh pengarang, fenomena itu diangkat kembali menjadi wacana baru dengan proses kreatif (pengamatan, analisis, interpretasi, refleksi, imajinasi, evaluasi, dan sebagainya) dalam bentuk karya sastra. Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan menggunakan teori sosiologi sastra dapat dilakukan dengan cara mendeskripsikan bagaimana konteks sosial teks tersebut. Konteks sosial teks tersebut harus dikaitkan dengan konteks sosial dunia nyata/zamannya. Selain itu, dideskripsikan pula bagaimana nilai sosial/fungsi sosial karya dalam masyarakat. Artinya, penganalisis harus melihat bagaimana masyarakat memandang karya sastra itu.
3.3 Resepsi Sastra
Estetika resepsi meneliti teks sastra dengan bertitik tolak pada pembaca yang memberi reaksi atau tanggapan terhadap teks itu. Segers (1978: 35) meenjelaskan estetika resepsi secara ringkas bahwa estetika resepsi (esthetics of reception) dapat disebut sebagai ajaran yang menyelidiki teks sastra berdasarkan reaksi pembaca yang riil dan mungkin terhadap suatu teks sastra. Resepsi sastra dimaksudkan bagaimana ”pembaca” memberikan makna terhadap karya sastra yang dibacanya sehingga dapat memberikan reaksi atau tanggapan terhadapnya. Tanggapan itu mungkin bersifat pasif, yaitu bagaimana seorang pembaca dapat memahami karya itu, atau dapat melihat hakikat estetika yang ada di dalamnya. Atau mungkin juga bersifat aktif, yaitu bagaimana ia ”merealisasikan”-nya. Karena itu resepsi sastra mempunyai lapangan yang luas, dengan berbagai kemungkinan penggunaan (Junus, 1985:1).
Dalam resepsi sastra ada anggapan bahwa ada suatu arti/makna tertentu dalam karya sastra yang muncul pada suatu masa dan lokasi tertentu. Ini disebabkan oleh adanya suatu latar belakang pemikiran tertentu pada masa itu yang menjadi pedoman bagi orang yang memahaminya. Dengan begitu, suatu karya akan punya nilai lampau dan makna kini (past significance dan present meaning).
Adanya fenomena ini memungkinkan kita untuk menciptakan suatu suasana penerimaan tertentu berdasarkan ideoogi tertentu, suatu penerimaan model (Junus , 1985: 122-123). Luxemburg (1982 : 80) mengatakan bahwa penelitian mengenai resepsi sastra terbagi dua, yakni sejarah resepsi dan penelitian terhadap orang-orang sezaman. Sejarah resepsi meneliti bagaimana sebuah teks atau sekelompok teks sejak diterbitkannya, diterima, dan bagaimana reaksi para pembaca atau sekelompok pembaca. Pradopo (2003: 206) menyatakan bahwa yang dimaksud estetika resepsi atau esteika tanggapan adalah estetika (ilmu keindahan) yang didasarkan pada tanggapan-tanggapan atau resepsi-resepsi pembaca terhadap karya sastra.
Dengan demikian, resepsi sastra merupakan proses pemaknaan karya sastra oleh pembaca sehingga dapat mereaksi atau menanggapi karya sastra itu. Dengan perkataan lain, pengertian resepsi ialah reaksi pembaca terhadap sebuah teks. Dalam hal ini peranan pembaca menjadi penting karena orientasi terhadap teks dan pembaca menjadi landasan utamanya. Kajian resepsi sastra yang dilakukan dalam mengkaji prosa fiksi di sini adalah bagaimana suatu teks direspons/diresepsi oleh seorang pengarang pada teks lainnya. Ini dikenal dengan intertekstual. Intertekstual memandang bahwa sebuah teks yang ditulis lebih kemudian mendasarkan diri pada teks-teks lain yang telah ditulis orang sebelumnya.
Tidak ada sebuah teks pun yang sungguh-sungguh mandiri, dalam arti penciptaannya dengan konsekuensi pembacanya juga, dilakukan tanpa sama sekali berhubungan teks lain yang dijadikan semacam contoh, teladan, kerangka, atau acuan (Teeuw, 2003: 145). Tujuan kajian intertekstual itu sendiri adalah untuk memberikan makna secara lebih penuh terhadap karya tersebut. penulisan sebuah karya sering ada kaitannya dengan unsur kesejarahannya sehingga pemberian makna akan lebih lengkap jika dikaitkan dengan unsur kesejarahan tersebut (Nurgiyantoro, 1998: 15).
Langkah pertama dalam analisis resepsi sastra adalah melakukan analisis struktur kedua (atau beberapa) teks. Pertama struktur teks hipogram.
Kedua, struktur teks transformasi. Langkah berikutnya adalah melakukan perbandingan apa perbedaan dan persamaan teks hipogram dengan teks transformasi. Yang dilakukan adalah bukan hanya menghitung-hitung seberapa banyak perbedaan/persamaan tersebut tetapi menjelaskan mengapa terjadi perbedaan/persamaan.
Langkah terakhir adalah menafsirkan makna persamaan/perbedaan kedua teks tersebut. Dasar untuk melakukan hal ini adalah konteks teks yang bersangkutan. Dengan cara itu kita akan melihat perbedaan/persamaan itu sebagai sesuatu yang fungsional.
3.4 Feminisme Sastra
Arti sederhana kajian sastra feminis adalah pengkaji memandang sastra dengan kesadaran khusus, kesadaran bahwa ada jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan kita. Jenis kelamin inilah yang membuat perbedaan di antara semuanya yang juga membuat perbedaan pada diri pengarang, pembaca, perwatakan, dan pada faktor luar yang mempengaruhi situasi karang-mengarang (Sugihastuti, 2005: 5). Secara garis besar dijelaskannya bahwa Culler (Sugihastuti, 2005: 5). menyebutnya sebagai reading as a woman, membaca sebagai perempuan. Yang dimaksud "membaca sebagai perempuan" adalah kesadaran pembaca bahwa ada perbedaan penting dalam jenis kelamin pada makna dan perebutan makna karya sastra. Kesadaran pembaca dalam kerangka kajian sastra feminis merupakan kajian dengan berbagai metode. Kajian ini meletakkan dasar bahwa ada gender dalam kategori analisis sastra, suatu kategori yang fundamental.
Inti tujuan feminisme adalah meningkatkan kedudukan dan derajat perempuan agar sama atau sejajar dengan kedudukan serta derajat laki- laki. Perjuangan serta usaha feminisme untuk mencapai tujuan ini mencakup berbagai cara. Salah satu caranya adalah memperoleh hak dan peluang yang sama dengan yang dimiliki laki-laki” (Djajanegara, 2000:4). Lebih lanjut Djajanegara (2000: 27-39) menguraikan ragam kritik sastra feminis dsebagai berikut.
a. KSF Ideologis, memandang wanita, khususnya kaum feminis sebagai pembaca. Yang menjadi pusat perhatian pembaca wanita adalah citra serta streotipe wanita dalam karya sastra.
b. KSF Ginokritik, mengkaji tulisan-tulisan wanita (Penulis wanita). Ginokritik mencoba mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan mendasar, seperti apakah penulis-penulis wanita merupakan kelompok khusus, dan apa perbedaan antara tulisan wanita dan laki-laki.
c. KSF Sosialis (Marxis), meneliti tokoh-tokoh wanita dari sudut pandang sosialis yaitu kelas-kelas masyarakat. Pengkritik feminis mencoba mengungkapkan bahwa wanita merupakan kelas masyarakat yang tertindas.
d. KSF Psikoanalitik, diterapkan pada tulisan-tulisan wanita karena para feminis percaya bahwa pembaca wanita biasanya mengidentifikasikan dirinya atau menempatkan dirinya pada tokoh wanita, sedangkan tokoh wanita tersebut pada umumnya merupakan cerminan atas penciptanya.
e. KSF Lesbian, meneliti penulis dan tokoh perempuan saja. Kajian ini masih terbatas karena beberapa faktor. Pertama, para feminis pada umumnya tidak menyukai kelompok perempuan homoseksual dan memandang mereka sebagai feminis radikal. Kedua, waktu tulisan-tulisan tentang perempuan bermunculan pada tahun 1979-an. Jurnal-jurnal perempuan tidak ada yang menulis tentang lesbianisme. Ketiga, kaum lesbian sendiri belum mampu mencapai kesepakatan tentang definisi lesbianisme. Keempat, disebabkan sikap antipati para feminis dan masyarakat, penulis lesbian terpaksa dalam bahasa yang terselubung serta menggunakan lambang-lambang, disamping menyensor sendiri.
f. KSF Etnik, mempermasalahkan diskriminasi seksual dan diskriminasi rasial dari kaum kulit putih maupun hitam, baik laki-laki maupun perempuan.
Sugihastuti (2005:15-16) mengemukakan bahwa dasar pemikiran dalam penelitian sastra berperspektif feminis adalah upaya pemahaman kedudukan dan peran perempuan seperti tercermin dalam karya sastra.
Pertama, kedudukan dan peran para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia menunjukkanmasih didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, upaya pemahamannya merupakan keharusan untuk mengetahui ketimpangan gender dalam karya sastra, seperti terlihat dalam realitas sehari-hari masyarakat.
Kedua, dari resepsi pembaca karya sastra Indonesia, secara sepintas terlihat bahwa para tokoh perempuan dalam karya sastra Indonesia tertinggal dari laki-laki, misalnya dalam hal latar sosial pendidikannya, pekerjaannya, perannya dalam masyarakat, dan pendeknya derajat berperspektif feminis bahwa perempuan mempunyai hak, kewajiban, dan kesempatan yang sama dengan laki-laki.Perempuan dapat ikut serta dalam segala aktivitas kehidupan bermasyarakat bersama laki-laki.
Ketiga, penelitian sastra Indonesia telah melahirkan banyak perubahan analisis dan metodologinya, salah satunya adalah penelitian sastra yang berperspektif feminis. Tampak adanya kesesuaian dalam realitas penelitian sosial yang juga berorientasi feminisme. Mengingat penelitian sastra yang berperspektif feminis belum banyak dilakukan, sudah selayaknya para peneliti melirik data penelitian yang berlimpah ruah ini.
Keempat, lebih dari itu, banyak pembaca yang menganggap bahwa peran dan kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki seperti nyata diresepsi dari karya sastra Indonesia. Oleh karena itu, pandangan ini pantas dilihat kembali melalui penelitian sastra berperspektif feminis. Berdasarkan dasar pemikiran di atas, langkah mengkaji prosa fiksi berdasarkan feminis dalam penelitian ini dilakukan dengan mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan perempuan dalam perspektif feminis berdasarkan kenyataan teks.
Pada umumnya, karya sastra yang menampilkan tokoh wanita bisa dikaji dari segi feministik. Baik cerita rekaan, ikon, maupun sajak mungkin untuk diteliti dengan penekatan feministik, asal saja ada tokoh wanitanya. Kita akan mudah menggunakan pendekatan ini jika tokoh wanita itu dikaitkan dengan tokoh laki-laki.
Tidaklah menjadi soal apakah mereka berperan sebagai tokoh utama atau tokoh protagonis, atau tokoh bawahan. Setelah mengidentifikasi satu atau beberapa tokoh wanita di dalam sebuah karya, kita mencari kedudukan tokoh-tokoh itu di dalam masyarakat. Misalnya, jika keudukannya sebagai seorang istri atau ibu, di dalam suatu masyarakat tradisional dia akan dipandang menempati kedudukan yang inferior atau lebih rendah daripada kedudukan laki-laki, karena tradisi menghendaki dia berperan sebagai orang yang hanya mengurus rumah tangga dan tidak layak mencari nafkah sendiri. Biasanya tokoh demikian akan memiliki ciri-ciri Victoria yang ditentang kaum feminis. Di dalam rumah tangga yang konservatif, suami adalah pencari nafkah tunggal.
Sebagai orang yang memiliki dan menguasai uang, suamilah yang memegang kuasaan, dan hidup seorang istri menjadi tergantung pada suaminya. Selanjutnya, kita mencari tahu tujuan hidupnya. Wanita yang merasa puas dan bahagia dengan hanya semata-mata mengurus keluarga dan rumah tangganya akan ditentang oleh para feminis. Wanita demikian membiarkan dirinya tidak saja tergantung pada suami dan kemudian pada anak-anaknya, melainkan juga tidak sanggup mengembangkan dirinya menjadi orang yang mandiri secara jasmani maupun secara intelektual. Sebaliknya, perempuan yang bercita-cita untuk dengan berbagai cara mengembangkan diri menjadi manusia yang mandiri lahir dan batin akan didukung oleh gerakan feminisme. Perempuan demikian akan mengangkat kedudukan dan harkatnya hingga menjadi setingkat dengan kedudukan dan harkat laki-laki, baik di dalam keluarga maupun di dalam masyakarat.
Lebih lanjut, kita dapat mengetahui perilaku serta watak tokoh perempuan dari gambaran yang langsung diberikan penulis. Misalnya, penulis menggambarkan tokoh tersebut sebagai perempuan yang lemah lembut, penurut, gemar dan pandai mengatur rumah tangga, serta mau berusaha keras untuk membahagiakan suami.
Penulis dapat juga melukiskan tokoh wanita sebagai pribadi yang haus akan pendidikan atau pengetahuan, yang rajin berkarya di luar lingkungan rumah, terutama untuk menambah penghasilan keluarga, sehingga bisa diakui masyarakat sebagai sosok yang memiliki jati diri sendiri tanpa dikaitkan dengan kedudukan suami. Kemudian kita perhatikan pendirian serta ucapan tokoh wanita yang bersangkutan. Apa yang dipikirkan, dilakukan, dan dikatakannya akan memberi banyak keterangan bagi kita tentang tokoh itu. Seandainya seorang perempuan berangan-angan untuk mendapat pendidikan yang memadai agar mampu menduduki suatu jabatan dan mampu membantu ekonomi keluarganya, maka tokoh tersebut telah mewujudkan salah satu tujuan yang diperjuangkan gerakan feminisme. Demikian pula dialog-dialog yang melibatkan tokoh itu akan banyak mengungkapkan watak dan jalan pikirannya. Langkah kedua adalah meneliti tokoh lain, terutama tokoh laki-laki yang memiliki keterkaitan dengan tokoh perempuan yang sedang kita amati. Cara-cara atau tahap-tahap yang kita tempuh tidak banyak berbeda dari apa yang telah kita laksanakan terhadap tokoh perempuan.
Meskipun tujuan utama kita adalah meneliti tokoh perempuan, kita tidak akan memperoleh gambaran lengkap tanpa memperhatikan tokoh-tokoh lainnya, khususnya tokoh laki-laki, sebagaimana layaknya dilakukan dalam kajian gender. Langkah terakhir adalah mengamati sikap penulis karya yang sedang dikaji. Mungkin kita akan berprasangka bahwa jika penulisnya laki-laki, dengan sendirinya tokoh wanitanya ditampilkan sebagai sosok tradisional yang dengan atau tanpa sadar menjalani kehidupan penuh ketergantungan. Sebaliknya, apabila penulisnya perempuan, dia akan menghadirkan tokoh perempuan yang tegar, mandiri, serta penuh rasa percaya diri. Praduga-praduga demikian sebaiknya kita kesampingkan saja. Baik laki-laki maupun wanita, seorang penulis mungkin saja menampilkan perempuan mandiri atau perempuan tradisional. Yang perlu diperhatikan adalah nada atau suasana yang mereka hadirkan. Mereka mungkin saja menulis dengan kata-kata menyindir atau ironis, dengan nada komik atau memperolok-olok, dengan mengkritik atau mendukung, dan dengan nada optimistik atau pesimistik. Nada dan suasana cerita pada umumnya mampu mengungkapkan maksud penulis dalam menghadirkan tokoh yang akan ditentang atau didukung para feminis.
Untuk mengetahui pandangan serta sikap penulis, sebaiknya penganalisis memperhatikan latar belakangnya. Misalnya tempat dan waktu penulisan sebuah karya banyak mempengaruhi pendirian dan sikap seorang penulis. Untuk memperoleh keterangan mengenai penulis, kita bisa membaca biografinya atau kritik tentang karya-karyanya.
3.5 Poskolonial
”Poskolonial adalah pendekatan poststruktural yang diterapkan pada topik khusus. Tetapi pendekatan poskolonial segaligus juga merupakan respons dan cermin "kekecewaan" kritikus asal dunia ketiga terhadap teori-teori potstruktural, terutama yang diformulasikan oleh Derrida dan Barthes” (Budianta, 2004: 49).
Teori poskolonial mengakui bahwa wacana kolonial merasionalkan dirinya melalui oposisi yang kaku seperti kedewasaan/ketidakdewasaan, beradab/biadab, maju/berkembang, progresif/primitif” (Gandhi, 2001: 44). ”Kesusastraan poskolonial ialah kesusastraan yang membawa pandangan subversif terhadap penjajah dan penjajahan” (Aziz, 2003: 200). Pada tahapan yang paling mendasar, postkolonial mengacu kepada praktik-praktik yang berkaitan dan menggugat hierarki sosial, struktur kekuasaan, dan wacana kolonialisme. Pembacaan poskolonial berusaha menjelaskan bagaimana suatu teks mendestabilisasi dasar pikiran kekuatan kolonial, atau bagaimana teks-teks tersebut mengedepankan efek kolonialisme.
Griffiths dan Tiffin sebagaimana dikutip Aziz (2003: 201) menjelaskan bahwa postkolonial merujuk kesan ataupun reaksi kepada kolonialisme semenjak ataupun selepas penjajahan. Sebenarnya, penjajahan masih berlangsung di setengah negara, dan pengalaman negara-negara ini diterjemahkan sebagai neokolonialisme oleh para golongan Markis. Mereka berpendapat bahwa penjajahan kini bukan lagi dalam konteks politik saja tetapi ekonomi serta budaya. Dalam koneks kesusasteraan paskolonial, karya-karya yang dihasilkan semasa atau selepas penjajahan diterima sebagai karya kesusasteraan paskolonial apabila karya itu merekamkan atau memancarkan wancana pascakolonial. Dengan kata lain, kesusasteraan poskolonial tidak terikat dengan masa, tetapi terikat dengan wacana poskolonial. Pernikiran-pemikiran Foucault tentang pengetahuan/kekuasaan dimanfaatkan oleh sejumlah pemikir yang menggagas teori poskolonial.
Teori dan kritik poskolonial yang marak sejak tahun 1980-an di Amerika Serikat, lnggris, dan Australia pada awalnya dipelopori oleh Leopold Senghor, Dominique O'manononi, Aimme Cesaire, Frants Fannon, dan Albert Memmi, yang menyorot berbagai aspek dan dimensi pengalaman penjajahan. Bedanya, generasi yang mengembangkannya kemudian, misalnya Edward Said dan Hhomi Bhaba, sangat dipengaruhi oleh pemikiran poststrukturalis, terutama Derrida dan Foucault (Budianta, 2004:49). Sesungguhnya wacana poskolonial memperjuangkan politik pertentangan, namun, ada yang berpendapat bahwa hal ini tidak boleh disamakan dengan antikolonialisme seperti yang ditegaskan oleh Bussnett (Aziz, 2003: 200) yang melihat paskolonialisme berbeda dari pada anti kolonialisme karena wacana yang ini tidak terlepas dengan menerima hakikat kesan penjajahan terhadap yang dijajah, dengan kata lain, walaupun wacana poskolonial ataupun poskolonialisme memberi reaksi yang menolak hegemoni dan autoriti barat, namun kesan hubungan yang kompleks antara penjajah dengan yang dijajah telah memberi kesan pada pembentukan budaya poskolonial, dan seterusnya mempengaruhi pembentukan kesusasteraan poskolonial. 14 14
Beberapa topik yang dikembangkan oleh poskolonial adalah masalah ras, etnisitas, dan identitas budaya. Pembicaraan mengenai topik-topik ini didasari oleh asumsi yang telah digariskan sejak Derrida, yakni bahwa segala sesuatu bentuk identitas merupakan bangunan (atau anggitan) sosial, bukan merupakan suatu esensi yang telah ditentukan secara biologis (Budianta, 2004:51). Objek penelitian poskolonial menurut Ashcroft (Ratna, 2008:90) mencakup aspek-aspek kebudayaan yang pernah mengalami kekuasaan imperial sejak awal terjadinya kolonisasi hingga sekarang, termasuk berbagai efek yang ditimbulkannya.
Walia (Ratna, 2008:90) mendefinisikan objek postkolonialisme sebagai segala tulisan yang berkaitan dengan pengalaman kolonial. Ratna (2008:90) menjelaskan bahwa yang dimaksudkan dengan teori poskolonial adalah cara-cara yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa modern. Menurut Pamela Alen (2004:211), ada dua penanda postkolonial, yaitu:
a. Tempat dan Pemindahan
Tempat dan pemindahan adalah masalah umum dalam kajian sastra poskolonial. Pemindahan disebabkan oleh kebutuhan kolonial untuk ketertiban, proses hibridisasi sebagai suatu keadaan yang muncul akibat belenggu kolonialisme dan upaya untuk menemukan kembali jati dirinya, dan yang terakhir adalah globalisasi. Dalam proses didefinisikan kembali oleh kolonialisme, tak diragukan lagi bahwa ada individu yang mengalami pemindahan, pengucilan, dan marginalisasi. Pemerintah kolonial membutuhkan "Penempatan" karena ini dibebankan pada serangkaian dinamika yang sudah lebih dahulu ada, yang perlu membawakan pemindahan. Karena kekuatan hegemonik dari pemerintah kolonial dipertahankan mulai kontrol yang ketat dan tekanan untuk terus menerus menjaga segala sesuatu tetap pada tempatnya, penjajah harus berhati-hati terhadap kekacauan yang menuntut kedewasaan terus menerus. Ingin dilakukan dalam banyak cara, misalnya tekanan polisi, melarang semua gerakan populer atau dengan cara korupsi. mekanisme yang dipakai bersifat terus menerus dan teratur.
b. Dekonstruksi
Istilah dekonstruksi yang diperkenalkan oleh Jacques Derrida melalui buku-bukunya, antara lain Of Grammatology, Yhriiting and Difference, Dissemination, dalam ilmu sastra mengacu pada model/metode analisis (atau model yang argument filosofis) yang dipakai dalam membaca berhagai macam teks sastra maupun nonsastra, untuk menunjukkan ketidaksesuaian dengan logikalretorika antara yang secara eksplisit disebutkan dan yang secara emplisit tersembunyi dalam teks. Kajian dekonstruksi menunjukkan bagaimana kontradiksi-kontradiksi tersebut disamakan oleh teks. Poskolonial menerapkan dekonstruksi dengan mengidentifikasikan logo sentrisisme dengan ideologi yang membuat dikotomediner hirarkis antara Barat Timur, rasio/emosi, masyarakat beradab/masyarakat primitif, dan lain-lain yang menjadi dasar pembenaran kolonialisme dan imperealisme.
Berdasarkan uraian di atas, analisis prosa fiksi dengan model analisis poskolonial dalam penelitian ini adalah mendeskripsikan berbagai isu sekaitan dengan wacana poskolonial, konsep kekuasaan, konsep penjajahan, tindakan subversif penjajah dan penjajahan, masalah ras, etnisitas, identitas budaya, gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan berbagai dokumen lainnya, yang terjadi di negara-negara bekas jajahan. Semua analisis sekaitan konsep poskolonial tersebut disesuaikan dengan kenyataan teks.
B. UNSUR-UNSUR INTRINSIK DAN EKSTRINSIK DRAMA
1. Unsur-Unsur Intrinsik Drama
Unsur-unsur intrinsik drama adalah unsur-unsur pembangunan struktur yang ada di dalam drama itu sendiri. Unsur-unsur intrinsik drama menurut Akhmad Saliman (1996 : 23) ada 8 yakni : 1. Alur. 2. Amanat, 3. Bahasa, 4. Dialog, 5. Latar, 6. Petunjuk teknis, 7. Tema, 8. tokoh.
1. Alur
jalannya cerita dari awal (pengenalan) sampai akhir (penyelesaian). Alur cerita terjalin dari rangkaian ketiga unsur, yaitu dialog, petunjuk laku, dan latar/setting. Sebuah alur dapat dikelompokkan dalam beberapa tahapan, sebagai berikut.
1.1 Pengenalan
Pengenalan merupakan bagian permulaan pementasan drama, pengenalan para tokoh (terutama tokoh utama), latar pentas, dan pengungkapan masalah yang akan dihadapi penonton.
1.2 Pertikaian
Setelah tahap pengenalan, drama bergerak menuju pertikaian yaitu pelukisan pelaku yang mulai terlibat ke dalam masalah pokok.
1.3 Puncak,
Pada tahap ini pelaku mulai terlibat dalam masalah-masalah pokok dan keadaan dibina untuk menjadi lebih rumit lagi. Keadaan yang mulai rumit ini, berkembang hingga menjadi krisis. Pada tahap ini penonton dibuat berdebar, penasaran ingin mengetahui penyelesaiannya.
1.4 Penyelesaian
Pada tahap ini dilukiskan bagaimana sebuah drama berakhir dengan penyelesaian yang menggembirakan atau menyedihkan. Bahkan dapat pula diakhiri dengan hal yang bersifat samar sehingga mendorong penonton untuk mengira-ngira dan memikirkan sendiri akhir sebuah cerita.
2. Amanat
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 67) amant adalah segala sesuatu yang ingin disampaikan pengarang, yang ingin ditanakannya secara tidak langsung ke dalam benak para penonton dramanya.
Harimurti Kridalaksana (183) berpendapat amanat merupakan keseluruhan makna konsep, makna wacana, isi konsep, makna wacana, dan perasaan yang hendak disampaikan untuk dimengerti dan diterima orang lain yang digagas atau ditujunya.Seorang pengarang drama, sadar atau tidak sadar pasti menyampaikan amanat dalam dramanya. Amanat bersifat kias, subjektif, dan umum. Setiap orang dapat saja saling berbeda pendapat dalam menafsirkan amanat yang disampaikan pengarang drama.
Amanat di dalam drama ada yang langsung tersurat, tetapi pada umumnya sengaja disembunyikan secara tersirat oleh penulis naskah drama yang bersangkutan. Hanya pentonton yang profesional aja yang mampu menemukan amanat implisit tersebut.
3. Bahasa
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 68), bahasa yang digunakan dalam drama sengaja dipilih pengarang dengan titik berat fungsinya sebagai sarana komunikasi.
Setiap penulis drama mempunyai gaya sendiri dalam mengolah kosa kata sebagai sarana untuk mengungkapkan pikiran dan perasaannya. Selain berkaitan dengan pemilihan kosa kata, bahasa juga berkaitan dengan pemilihan gaya bahasa (style).
Bahasa yang dipilih pengarang untuk kemudian dipakai dalam naskah drama tulisannya pada umumnya adalah bahasa yang mudah dimengerti (bersifat komunikatif), yakni ragam bahasa yang dipakai dalam kehidupan kesehatian. Bahasa yang berkaitan dengan situasi lingkungan, sosial budyaa, dan pendidikan.
Bahasa yang dipakai dipilih sedemikian rupa dengan tujuan untuk menghidupkan cerita drama, dan menghidupkan dialog-dialog yang terjadi di antara para tokoh ceritanya. Demi pertimbangan komunikatif ini seorang pengarang drama tidak jarang sengaja mengabaikan aturan aturan yang ada dalam tata bahasa baku.
4. Dialog
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 98) dialog adalah mimetik (tiruan) dari kehidupan keseharian. Dialog drama ada yang realistis komunikatif, tetapi ada juga yang tidak realistis (estetik, filosopis, dan simbolik). Diksi dialog disesuaikan dengan karekter tokoh cerita.
5. Latar
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 66), latar adalah tempat terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah drama. Latar tidak hanya merujuk kepada tempat, tetapi juga ruang, waktu, alat-alat, benda-benda, pakaian, sistem pekerjaan, dan sistem kehidupan yang berhubungan dengan tempat terjadinya peristiwa yang menjadi latar ceritanya.
6. Petunjuk laku
Petunjuk laku atau catatan pinggir berisi penjelasan kepada pembaca atau para pendukung pementasan mengenai keadaan, suasana, peristiwa, atau perbuatan, tokoh, dan unsur-unsur cerita lainnya. Petunjuk laku sangat diperlukan dalam naskah drama. Petunjuk laku berisi petunjuk teknis tentang tokoh, waktu, suasana, pentas, suara, keluar masuknya aktor atau aktris, keras lemahnya dialog, dan sebagainya. Petunjuk laku ini biasanya ditulis dengan menggunakan huruf yang dicetak miring atau huruf besar semua. Di dalam dialog, petunjuk laku ditulis dengan cara diberi tanda kurung di depan dan di belakang kata atau kalimat yang menjadi petunjuk laku).
7. Tema
Tema menurut WJS Poerwadarminta (185 : 1040) tema adalah pokok pikiran. Mursal Esten (1990) berpendapat tema adalah sesuatu yang menjadi pikiran atau sesuatu yang menjadi persoalan.
Tema merupakan gagasan pokok yang terkandung di dalam drama. Tema dikembangkan melalui alur dramatik melalui dialog tokoh-tokohnya. Tema drama misalnya kehidupan, persahabatan, kesedihan, dan kemiskinan.
8. Tokoh
Tokoh dalam drama disebut tokoh rekaan yang berfungsi sebagai pemegang peran watak tokoh. Itulah sebebanya istilah tokoh juga disebut karakter atau watak. Istilah penokohan juga sering disamakan dengan istilah perwatakan atau karakterisasi (tidak sama dengan karakteristik) (Saliman : 1996 : 32).
Menurut Akhmad Saliman (1996 : 25 : 27) berdasarkan peranannya di dalam alur cerita tokoh dapat diklasifikasikan menjadi 3 macam yakni : 1. Antagonis, tokoh utama berprilaku jahat, 2. Protagonis, tokoh utama berprilaku baik, 3. Tritagonis, tokoh yang berperanan sebagai tokoh pembantu. Selain itu, masih menurut Akhmad Saliman (1996 : 27) berdasarkan fungsinya di dalam alur cerita tokoh dapat diklasifikasi menjadi 3 macam juga, yakni : 1. Sentral, tokoh yang berfungsi sebagai penentu gerakan alur cerita, 2. Utama, tokoh yang berfungsi sebagai pendukung tokoh antagonis atau protagonis, 3. Tokoh pembantu, tokoh yang berfungsi sebagai pelengkap penderita dalam alur cerita.
Masih berkaitan dengan tokoh ini, ada istilah yang lajim digunakan yakni penokohan dan teknik penokohan. Penokohan merujuk kepada proses penampilan tokoh yang berfungsi sebagai pembawa peran watak tokoh cerita dalam drama. Sedangkan teknik penokohan adalah teknik yang digunakan penulis naskah lakon, sutradara, atau pemain dalam penampilan atau penempatan tokoh-tokoh wataknya dalam drama.
Teknik penokohan dilakukan dalam rangka menciptakan citra tokoh cerita yang hidup dan berkarakter. Watak tokoh cerita dapat diungkapkan melalui salah satu dari 5 teknik di bawah ini.
1. Apa yang dipikirkan, dirasakan, atau dikehendaki tentang dirinya atau tentang diri orang lain.
2. Lakuan, tindakan,
3. Cakapan, ucapan, ujaran,
4. Kehendak, perasaan, pikiran,
5. Penampilan fisik.
Tokoh watak atau karakter dalam drama adalah bahan baku yang paling aktif dan dinamis sebagai penggerak alur cerita. Para tokoh dalam drama tidak hanya berfungsi sebagai penjamin bergeraknya semua peristiwa cerita, tetapi juga berfungsi sebagai pembentuk, dan pencipta alur cerita. Tokoh demikian disebut tokoh sentra (Saliman, 1996 : 33).
Penokohan, gerak, dan cakapan adalah tiga komponen utama yang menjadi dasar terjadinya konflik (tikaian) dalam drama. Pada hakekatnya, konflik (tikaian) merupakan unsur instrinsik yang harus ada di dalam sebuah drama.
Tokoh cerita dalam drama dapat diwujudkan dalam bentuk 3 dimensi, meliputi . 1. Dimensi fisiologi, yakni ciri-ciri fisik yang bersifat badani atau ragawi, seperti usia, jenis kelamin, keadaan tubuh, ciri wajah, dan ciri-ciri fisik lainnya. 2. Dimensi psikologi, yakni ciri-ciri jiwani atau rohani, seperti mentalitas, temperamen, cipta, rasa, karsa, IQ, sikap pribadi, dan tingkah laku. 3. Dimensi sosiologis, yakni ciri-ciri kehidupan sosial, seperti status sosial, pekerjaan, jabatan, jenjang pendidikan, kehidupan pribadi, pandangan pribadi, sikap hidup, perilaku masyarakat, agama, ideologi, sistem kepercayaan, aktifitas sosial, aksi sosial, hobby pribadi, organisasi sosial, suku bangsa, garis keturunan, dan asal usul sosial.
2. Unsur Ekstrinsik Drama
Menurut Tjahyono (1985), unsur ekstrinsik karya sastra adalah hal-hal yang berada di luar struktur karya sastra, namun amat mempengaruhi karya sastra tersebut. Misalnya faktor-faktor sosial politik saat karya tersebut diciptakan, faktor ekonomi, faktor latar belakang kehidupan pengarang, dan sebagainya. Mengutip pernyataan Wellek dan Warren, Tjahyono menjelaskan pengkajian terhadap unsur ekstrinsik karya sastra mencakup empat hal. Salah satunya adalah mengkaji hubungan sastra dengan aspek-aspek politik, sosial, ekonomi, budaya dan pendidikan. Bahwa situasi sosial politik ataupun realita budaya tertentu akan sangat berpengaruh terhadap karya sastra tersebut.
Unsur yang membangun karya sastra berdasarkan pendekatan struktural meliputi unsur intrinsik dan ekstrinsik. Pembahasan kali ini akan dikhususkan pada unsur ekstrinsik karya sastra, khususnya prosa.
Unsur ekstrinsik adalah unsur-unsur yang berada di luar karya sastra, tetapi secara tidak langsung mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra. Secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa unsur ekstrinsik berperan sebagai unsur yang mempengaruhi bagun sebuah cerita. Oleh karena itu, unsur esktrinsik karya sastra harus tetap dipandang sebagai sesuatu yang penting.
Sebagaimana halnya unsur intrinsik, unsur ekstrinsik pun terdiri atas beberapa unsur. Menurut Wellek & Warren (1956), bagian yang termasuk unsur ekstrinsik tersebut adalah sebagai berikut.
Keadaan subjektivitas individu pengarang yang memiliki sikap, keyakinan, dan pandangan hidup yang semuanya itu mempengaruhi karya sastra yang dibuatnya.
psikologis, baik psikologis pengarang, psikologis pembaca, maupun penerapan prinsip psikologis dalam karya.
Keadaan lingkungan pengarang, seperti ekonomi, sosial, dan politik.
Pandangan hidup suatu bangsa, berbagai karya seni, agama, dan sebagainya.
Latar belakang kehidupan pengarang sebagai bagian dari unsur ekstrinsik sangat mempengaruhi karya sastra. Misalnya, pengarang yang berlatar belakang budaya daerah tertentu, secara disadari atau tidak, akan memasukkan unsur budaya tersebut ke dalam karya sastra.
Menurut Malinowski, yang termasuk unsur budaya adalah bahasa, sistem teknologi, sistem mata pencaharian, organisasi sosial, sistem pengetahuan, religi, dan kesenian. Unsur-usnru tersebut menjadi pendukung karya sastra. Sebagai contoh, novel Siti Nurbaya sangat kental dengan budaya Minangkabau. Hal ini sesuai dengan latar belakang pengarangnya, Marah Rusli, yang berasal dari daerah Minangkabau. Begitu pula novel Upacara karya Korrie Layun Rampan yang dilatarbelakangi budaya Dayak Kalimantan karena pengarangnya berasal dari daerah Kalimantan.
Begitu pula dalam Novel Harimau! Harimau! karya Mochtar Lubis, kita akan menemukan unsur intrinsik berupa nilai-nilai budaya. Terutama, yang berkaitan dengan sistem mata pencaharian, sistem teknologi, religi, dan kesenian. Mata pencaharian yang ditekuni para tokoh dalam novel tersebut sebagai pencari damar dan rotan di hutan. Alat yang digunakan masih tradisional.
Selain budaya, latar belakang keagamaan atau religiusitas pengarang juga dapat memengaruhi karya sastra. Misalnya, Achdiat Kartamihardja dalam novel Atheis dan Manifesto Khalifatullah, Danarto dalam novel Kubah, atau Habiburahman El-Shirazi dalam Ayat-Ayat Cinta dan Ketika Cinta Bertasbih.
Latar belakang kehidupan pengarang juga menjadi penting dalam memengaruhi karya sastra. Sastrawan yang hidup di perdesaan akan selalu menggambarkan kehidupan masyarakat desa dengan segala permasalahannya. Misalnya, dalam novel Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari.
Dengan demikian, unsur ekstrinsik tersebut menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari bangunan karya sastra. Unsur ekatrinsik memberikan warna dan rasa terhadap karya sastra yang pada akhirnya dapat diinterpretasikan sebagai makna. Unsur-unsur ektrinsik yang mempengaruhi karya dapat juga dijadikan potret realitas objektif pada saat karya tersebut lahir. Sehingga, kita sebagai pembaca dapatmemahami keadaan masyarakat dan suasana psikologis pengarang pada saat itu.
Langganan:
Postingan (Atom)